Matahari sore
itu mulai meninggalkan anak-anak kecil yang bermain bola kaki di tanah
lapang.Cahaya Jingga seolah berpindah dari satu dahan ke dahan lainnya.Perlahan
namun pasti, gelap menjelma di Dusun Sungai
Mbawang, Desa Sungai Mbawang, Kecamatan Puring Kencana, Kabupaten Kapuas
Hulu, Kalimantan Barat.
Perkampungan
yang berada persis di perbatasan antara Indonesia dan Malaysia ini mulai
sepi.Tak banyak cahaya terang yang terlihat dari kusen-kusen lapuk rumah
berbentuk panggung.Sebagian penduduknya memang hanya menggunakan pelita minyak
atau lilin sebagai penerangan kala malam menjadi raja.Sebagian lagi menggunakan
genset berbahan bakar solar.Indonesia yang kaya itu belum mengalirkan listrik
ke perkampungan yang dihuni sekitar puluhan keluarga ini.
Di salah satu
rumah dengan cahaya remang pelita minyak, seorang pria bernama Matius Robert
duduk bersila sambil menyambut tamunya yang datang dari jauh.Senyumannya
bersinar jelas saat SH bertandang ke rumahnya beberapa waktu lalu.Ia adalah
satu-satunya warga setempat yang mengajar di Sekolah Dasar Negeri 03 Sungai
Mbawang, Puring Kencana, sekolah kecil di permukiman tersebut.
"Silakan
masuk, maaf kalau agak gelap.Memang beginilah situasi kampung kami," ujar
pria berusia 45 tahun ini ramah.Matius sempat terkejut ketika mengetahui bahwa
adatamunya yang datang dari jauh ternyata ingin mengetahui bagaimana situasi
sekolah dan guru di wilayah tersebut. Keterkejutannya itu bukan tanpa alasan,
ia merasa selama ini tidak banyak pihak yang mau melihat mereka yang sebenarnya
berada,pada bagian depan negeri ini.
Terang saja dia
berpikir begitu, pembangunan seolah tak menyentuh kampung ini.Selain tidak
adanya pasokan listrik, akses jalan ke kampung ini buruk. Matius mengungkapkan
bahwa sekolah tempat ia mengajar hanya memiliki tiga ruang belajar. Padahal,
ada lima kelas di sekolah tersebut.
"Memang di
sini hanya ada kelas 1 sampai 5, tapi ruangan belajar yang ada hanya tiga
kelas," katanya.
Ia melanjutkan,
dari lima kelas yang ada di sekolah tersebut, ia hanya memiliki 12 peserta
didik. Segala keterbatasan yang ada di kampung itumaupun keterbatasan yang ada
di sekolah tersebut membuat sebagian besar penduduk di sana memilih
menyekolahkan anak-anak mereka ke Malaysia.
"Padahal
yang sekolah ke SDN 03 ini bukan hanya anak-anak dari Dusun Sungai Mbawang,
tapi juga dari Dusun Sungai Mbiru yang ada di dekat dusun kami ini. Tapi ya
nyatanya siswa di ' sini hanya 12 orang," ungkap Matius.
Selain karena
keterbatasan yang ada, beberapa orang tua memilih menyekolahkan anaknya ke
negeri jiran lantaran menganggap kualitas pendidikan di sana dianggap lebih
baik. Karena itu, kata dia, beberapa penduduk sengaja membangun pondok di
wilayah Malaysia sekadar untuk menemani anak mereka sekolah di sana.
"Itu
tergantung orang tua mereka. Menganggap bahwa pendidikan di sana lebih baik,
dan sementara menetap di sana dengan pondok, lalu hari Jumat pulang ke sini.
Atau Ada juga yang tinggal di rumah kerabat mereka di sana. Sebagian lagi
pulang pergi dari sini, karena jarak ke Malaysia hanya satu jamperjalanan
dengan sepeda motor," tutur Matius.
Sedihnya lagi,
kata dia, beberapa siswa yang sejak awal mengikuti pendidikan di sekolah
tersebut, harus berhenti di bangku kelas lima atau kelas empat lantaran orang
tua mengharuskan anak-anaknya membantu berkebun di ladang. "Biasanya anak
yang sudah duduk di kelas empat atau lima dianggap sudah besar.Saatnya membantu
orang tua," kata Matius.
Berjuang Sendiri
Sepinya peserta
didik di sekolah itu tidak membuat Matius menyerah. Bahkan meski terkadang
harus merangkap mengajar tiga kelas sekaligus, ia tetap bersabar dan
mengobarkan semangat di dalam dirinya. Hal itu semata-mata ia lakukan untuk
menyuntikkan semangat serupa kepada anak-anak di perbatasan. "Sebenarnya
di sekolah ini ada tiga guru. Tapi karena yang lain tinggal jauh dari dusun
ini, guru-guru yang lain sering tidak masuk," ucapnya.
Saat mengajar
sendiri itu, kata Matius, ia menjadi satu-satunya pengajar sekaliguspembimbing
untuk lima kelas yang ada. Caranya, ia berpindah dari satu kelas yang satu ke
kelas yang lainnya.
"Satu
ruangan bisa dua kelas.Jadi untuk dua kelas di dalam satu ruangan, saya tinggal
bergeser sedikit. Satu ruangan sudah saya bagikan tugas untuk mencatat, saya
pindah ke ruangan lain dan menerangkan. Begitu seterusnya," papar dia.
Ditanyai berapa
gaji yang ia terima sebagai guru di tempat itu, Matius sedikit terkekeh namun
tak sedikit pun mengungkapkan keluhan.
"Tidak
besar, Rp 2 juta dengan tugas rangkap seperti ini," katanya.Ia mengaku
melakukan hal itu dengan senang hati. Gaji kecil tak jadi soal, bagi Matius
yang terpenting adalah bagaimana anak-anak di perbatasan mendapat pendidikan.
"Kalau
ikhlas, saya ikhlas.Lagipula, kalau bukan saya siapa lagi yang mau mengajar di
wilayah perbatasan seperti ini?Ada saja alasan untuk menolak mengajar di sini,
entah itu terpencil atau jauh," ungkap Matius.
Ia menceritakan,
beberapa guru yang tinggal jauh dari dusun tersebut, jika pulang kampung maka
baru berbulan-bulan kemudian kembali mengajar. Menurutnya, orang dari luar
daerah yang mengajar di dusun itu terkadang mau mengajar sekadar untuk mencari
batu loncatan. Bahkan ia mengaku banyak guru yang awalnya terpaksa mengajar
untuk batu loncatan meski tidak betah mengajar di sana. "Tiga bulan
mengajar mereka sudah minta pindah.Bahkan kadang tidak sampai tiga bulan,"
kata Matius.
Ia berpendapat,
banyak guru yang datang ke sana memang tidak memiliki alasan untuk kerasan.
Tidak adanya listrik membuat fasilitas di sekolah tidak dapat digunakan.
Hal itu
berdampak pada lemahnya keinginan peserta didik untuk mengikuti
pelajaran."Contohnya di sini ada komputer. Tapi kan tidak ada listrik, ya
tidak bisa dimanfaatkan dan dibiarkan begitu saja. Guru juga tidak bisa
mendapat hiburan karena tidak bisa menonton televisi.Lagi-lagi karena tidak ada
listrik," papar Matius.
Ia
mengungkapkan, sejak sekolah tersebut dibangun sekitar tahun 1980, situasinya
tetap sama, penuh dengan keterbatasan. Karena itu iaberharap pemerintah mau
melihat sekolah-sekolah di perbatasan.
Sebagai seorang
guru, ia tahu betul bahwa dana dari pemerintah pusat untuk wilayah terpencil
seperti Dusun Sungai Mbawang sekalipun sudah disiapkan. Namun ia juga bertanya
mengapa situasi di wilayah tersebut tidak berubah sedikit pun.
"Mestinya wilayah
perbatasan dibangun.Paling tidak untuk akses jalan dan penerangan.Sayangnya
sampai sekarang hal itu tidak pernah ada," keluh Matius. Bahkan karena
keterbatasan tersebut, dana yang diberikan pemerintah untuk buku-buku peserta
didik harus didapatkan dengan cara sulit. Ia mengatakan, untuk buku, ia
terpaksa melewati jalan yang buruk untuk pergi ke kota dan membeli buku.
Bagaimanapun
situasi yang buruk itu, kata Matius, yang terpenting adalah bersabar.
Menurutnya, siapa pun yang ditempatkan di perbatasan, jika tidak memiliki
kesabaran maka tidak akan kerasan. "Bahkan bisa stres, nah kalau stres
bagaimana membimbing anak-anak dengan lemah lembut?Kalau tidak betah, bagaimana
bisa memberikan semangat buat anak-anak?" katanya.(Jenda Munthe), Sumber
Koran: Sinar Harapan (05 Oktober 2013/Sabtu, Hal. 01)