Selasa, 08 Oktober 2013

JAMBORE KERONCONG_Jenderal dan Pengamen Keroncongan


Fajar Dumadi (37) memperlihatkan alat musik cuk atau ukulele di tangan. Cuk itu dibeli dengan harga Rp 50.000. Bagian punggung yang terbuat dari tripleks diganti dengan papan. Bridge untuk menahan senar ia buat sendiri dari sutil, alat rumah tangga yang biasa dipakai untuk menggoreng, yang terbuat dari aluminium.

Fajar dan lima anggota Orkes Keroncong Pesona Senja datang dari Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, ke Kota Semarang, Jateng, untuk turut serta dalam Jambore 1.000 Lagu Keroncong Indonesia, yang diadakan Komando Daerah Militer (Kodam) IV/Diponegoro sejak Jumat hingga Minggu (6/10) lalu, di Lapangan Parade Kodam IV/Diponegoro. Jambore keroncong diadakan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-68 TNI dan HUT Ke-63 Kodam IV/Diponegoro.

"Kami masih berjuang untuk memiliki alat musik yang lengkap. Saat ini hanya ada gitar, cuk, cak, selo, dan biola. Kami juga belum memiliki vokalis. Jadi, yang menyanyi bergantian. Sulit sekali mencari orang yang benar-benar menyukai keroncong dan mau bergabung," ujar Fajar, la dan anggota orkesnya sehari-hari berprofesi sebagai pengamen di Rembang.

Perbincangan dilakukan di sela-sela jajaran tenda TNI, tempat musisi keroncong itu menginap. Musisi peserta Jambore Keroncong mencapai 84 grup. Mereka tidur di atas tandu yang berjajar dalam tenda yang jumlahnya mencapai 50 unit.

Sumber kehidupan

Bernyanyi keroncong, juga lagu-lagu aliran lain, menjadi sumber penghidupan mereka. Setiap hari mereka berkeliling dari rumah ke rumah dan kerap diusir. Namun, banyak juga yang mengapresiasi dan menanggap atau meminta kelompok keroncong itu tampil. Karena itu, alih-alih menabung untuk membeli alat musik, pendapatan tersedot untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

"Kami menyiasatinya dengan membeli barang second, lalu diperbaiki sampai bunyinya bagus. Selo bekas ini kami beli Rp 200.000. Kalau baru, kisarannya Rp 1,5 juta. Yang belum bisa terbeli bas, harganya bisa sam¬pai Rp 3,5 juta," kata Fajar.

Cak, yang juga sejenis ukulele tetapi tak berongga, dibuat sendiri. Dhoni (38), anggota Orkes Keroncong Pesona Senja yang lain, mengatakan, cak dibuat dari kayu mahoni. Ia tinggal menambahkan tiga utas dawai dan bridge yang juga memanfaatkan sutil aluminium. Biaya pembuatan lebih kurang Rp 80.000. Jauh lebih murah ketimbang membeli baru senilai Rp 200.000, dengan kualitas yang belum tentu lebih baik.

Pesona Senja baru terbentuk sekitar satu tahun lalu, tetapi sebenarnya merupakan bentukan kembali Orkes Keroncong Senja Pantura yang sudah ada beberapa tahun silam di Rembang. Dengan sumber daya terbatas, modal mereka saat ini adalah semangat yang menggebu untuk turut melestarikan keroncong. Kostum beskap lurik yang mereka kenakan untuk tampil masih belum dibayar lunas.

"Di Rembang tidak ada lagi orkes keroncong. Kami satu-satunya yang mewakili kabupaten untuk datang ke sini. Kami ingin belajar dari grup yang sudah senior dan kawakan. Tidak ada guru yang mengajari kami berkeroncong. Ikut festival seperti ini menjadi tempat untuk belajar," kata Fajar.

Semangat yang sama juga melandasi Orkes Rewo-rewo dari Kabupaten Magelang, Jateng, untuk mengikuti jambore yang menyajikan 1.000 lagu nonstop selama 64 jam. Anggota grup ini juga terdiri atas berbagai latar belakang profesi, seperti pengamen, penjual martabak, penjual gudeg, sales, dan pegawai negeri sipil.

"Kami awalnya kumpul-kumpul dan kebetulan senang keroncong. Jadi, kami membentuk grup ini. Karena latar belakang kami berbeda-beda, namanya Rewo-rewo (bahasa Jawa: campur-campur)," ujar Lilik (60), pensiunan pegawai negeri sipil yang memainkan flute.

Blandong (50), pedagang martabak yang memegang alat musik bas, mengatakan, berma¬in musik keroncong bisa menambah pemasukan keluarga Meskipun tidak banyak, penda¬patan bermain di sebuah kafe setiap malam Minggu di Magelang membantu membuat dapurnya selalu mengepul.

Meski demikian, penghargaan bagi grup keroncong ini tak selalu manis. Cidit (28), pemain cak, mengungkapkan, saat diminta tampil di pernikahan atau hajatan lain, itu bersifat lebih banyak sambatan atau "gotong royong". Mereka dibayar seadanya, bahkan gratis.

Yang membuat bahagia adalah grup ini sangat kekeluargaan. Kami sudah seperti keluarga sendiri. Selain itu, bermain keroncong juga selalu membuat hati senang. Rasanya menenangkan;" kata Cidit.

Sambil berkelakar, pemain keroncong dari Orkes Cahaya Nada, Sugino (36), mengatakan, saat bermain keroncong, rasa¬nya seperti tidak punya utang. Musik tradisional ini bisa mem¬bawa suasana damai di hati.

Regenerasi keroncong
Di beberapa daerah, regenerasi pemusik keroncong sangat sulit. Namun, di sebagian tempat lain, musik keroncong sangat berkembang. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (Hamkri) Iwan Krisna Setiadi mengatakan, Hamkri menyediakan beasiswa bagi anak muda yang berprestasi dan berminat di bidang musik keroncong.

Saat ini juga banyak dibuat keroncong kreasi baru, dimodifikasi dengan aliran musik lain, seperti jazz, rock, pop, atau dangdut. Semuanya sah-sah saja demi menarik minat anak muda Dibutuhkan pula wahana untuk menyalurkan aneka kreasi itu. Segala bentuk festival akan sangat membantu perkembangan keroncong.

"Dibutuhkan kerja sama dengan semua pihak untuk memajukan keroncong. Pelakunya juga perlu mendapat apresiasi agar tetap setia bertahan dan melestarikan musik ini," katanya lagi.

Panglima Kodam IV/Diponegoro Mayor Jenderal TNI Sunindyo ikut tampil memainkan alat musik cak dalam jambore keroncong. Ia menuturkan, pertahanan sebuah negara tak hanya dari sisi militer, tetapi juga dari budaya sehingga negara harus serius melestarikan budaya bangsa yang bernilai tinggi.

"Kalau bukan kita, siapa lagi yang peduli dengan keroncong. Jangan sampai generasi penerus kita tidak tahu apa itu keroncong, dan malah diakui oleh negara lain," ujar Sunindyo.

Semua komando distrik militer di wilayah Kodam IV/Diponegoro dikerahkan untuk mengirimkan grup keroncong ke jambore itu. Sunindyo berharap langkah itu tidak terhenti sampai di situ. (AMANDA PUTRI N), Sumber Koran: Kompas (08 Oktober 2013/Selasa, Hal. 01)