Nama Brigjen TNI
Soepardjo, Panglima Komando Tempur (Pangkopur) IV/Mandau Bengkayang, Provinsi
Kalimantan Barat, tidak bisa dilepaskan dari isu seputar Gerakan 30 September
(G30S) 1965. Ia dianggap terlibat. Soepardjo berangkat dari Bengkayang ke
Jakarta pada 27 September 1965. Nama Soepardjo masuk dalam satu dari 45
namaDewan Revolusi Indonesia yang dipimpin Letkol (Inf) Untung Samsuri. Dewan ini
merupakan tandingan terhadap isu terbentuknya Dewan Jenderal yang dipimpin
Menteri/Panglima Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), Letjen TNI
Ahmad Yani.
Saat peristiwa
G30S meletus dan Soeharto mengambil alih keadaan, Soepardjo menjadi buron.Soedjiman,
mantan anak buah Soepardjo ketika menjadi Danrem 062/Tarumanegara di Garut
1959-1963, berkisah bahwa ialah yang akhirnya menangkap Soeparjdo.
"Selaku
Komandan Satuan Tugas Kalong Djaya, Soepardjo berhasil saya tangkap di Jakarta
pada 12 Januari 1967," kata Soedjiman saat ditemui SH di Jakarta, Agustus
lalu.
Mayjen (Purn)
Soedjiman yang kini berusia 86 tahun, pernah menjabat sebagai Kasi Ter Korem
062/Tarumanegara di Garut, Dandim 0501/Jakarta Pusat, Kasdam XII/ Tanjungpura
di Pontianak, Komandan Korps Markas Pertahanan dan Keamanan (Dankorma Hankam),
serta Gubernur Kalimantan Barat periode 1978-1988. Ia mengatakan sikap ambisius
menjadi faktor penyebab Soepardjo terlibat G30S.
Menurut
Soedjiman, selama menjadi Danrem 062/Tarumanegara dengan wilayah kerja meliputi
Garut dan Sumedang, Soepardjo berupaya melakukan hal yang terbaik, agar bisa
menarik simpati Presiden Soekarno.
Danrem Garut
Selama dua tahun
berturut-turut, dua kota di wilayah teritorial Korem 062/Tarumanegara berhasil
dinobatkan sebagai kota terbersih di Indonesia, yakni Garut tahun1961 dan
Sumedang tahun 1962. Melalui elite PKI, Soepardjo mampu menimbulkan kesan di
mata Presiden Soekarno bahwa keberhasilan Garut dan Sumedang sebagai kota
terbersih berturut-turut tahun 1961 dan 1962, semata-mata berkat kepemimpinan
Danrem 062/Tarumanegara.
Dalam
perkembangannya, di tengah keengganan, sebagian besar elite TNI AD di bawah
kepemimpinan Letjen TNI Ahmad Yani terlibat terlalu jauh berkonfrontasi dengan
Malaysia sejak tahun 1964.Soeparjo dan PKI selalu berada di barisan terdepan
dalam mendukung langkah Presiden Soekarno menggempur Sabah dan Sarawak di
Kalimantan."Penetapan Soepardjo sebagai Pangkopur IV/ Mandau yang
berimplikasi kepada pengukuhan kenaikan pangkatnya dari kolonel menjadi brigadir
jenderal, tidak bisa lepas dari dari sikap ambisiusnya menarik simpati Presiden
Soekarno melalui elite-elite penting PKI," kata Soedjiman.
Namun, secara
keseluruhan para pemimpin TNI AD mengambil posisi unik.Mereka menyetujui
perintah Presiden Soekarno mengirimkan tentara ke Kalimantan, hanya karena
tidak ingin PKI terus-terusan menikmati keuntungan politik.
TNT AD tidak
akan benar-benar serius dalam konfrontasi, agar situasi tak bertambah buruk
menjadi perang terbuka Indonesia melawan Malaysia yang didukung Inggris,
Australia, dan Selandia Baru. Brigjen Soepardjo mengeluhkan hal ini.Ia melihat
konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati. Brigjen Soepardjo merasa operasinya
disabotase dari belakang oleh kelompok Letjen TNI Ahmad Yani.
Dokumen
Soepardjo
Puncak
ketidakkompakan di kalangan elite TNI AD, membuat Brigjen Soepardjo terbang ke
Jakarta. Nama Soepardjo kemudian tercantum sebagai Wakil Ketua Dewan Revolusi
dari G30S yang dipimpin Untung, hingga kemudian ia dinyatakan buron dan
ditangkap mantan anak buahnya sendiri.
Selama
persembunyiannya di Jakarta dan sekitarnya, ada tulisan penting Soepardjo yang
tidak dicantumkan tanggal dan tahunnya.Tulisan berupa analisis Soepardjo di
balik G30S 1965 yang kemudian dikenal sebagai Dokumen Soepardjo.
Salah satunya,
Soepardjo menilai pergantian Duta Besar Amerika Serikat dari Howard P Jones
kepada Marshall Green pada 26 Juli 1965, merupakan upaya pematangan Central
Intelligence Agency (CIA) untuk mengudeta Soekarno.
Marshall Green
dikenal sebagai diplomat senior Amerika Serikat, yang ahli menyusun strategi
kudeta di sejumlah negara.Selama menjadi Dubes di Seoul, Marshall Green
berhasil menumbangkan rezim diktator Syngman Rhee pada 18 April 1960, untuk
selanjutnya digantikan Yun Bo-seon pada 23 Agustus 1960.
Referensi
Dokumen Soepardjo kemudian menjadi salah satu referensi penting di kalangan
sejarawan, analis dan penulis, untuk melalaikan penelitian seputar G30S 1965.
Analisis
Soepardjo membuktikan, AS melalui CIA, merupakan arsitek di balik kudeta
merangkak Pangkostrad Letjen TNI Soeharto terhadap kepemimpinan Presiden
Soekarno, dengan penyalahgunaan Surat Perintah Presiden Nomor 113 Tahun 1966
tanggal 11 Maret Keppres Nomor 113 Tahun 1996 kemudian lebih dikenal dengan
sebutan Surat Perintah Sebelas Maret.
Sejarawan John
Roosa menulis, AS pernah menempatkan Soekarno sebagai musuh nomor satu di dunia
dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, karena menjadi satu-satunya
penghalang penghancuran komunis di Asia Tenggara.
Kemenangan AS
selama perang di Vietnam sama sekali tidak berarti jika komunis di Indonesia
tidak segera dihancurkan. Menghancurkan PKI berarti terlebih dahulu merontokkan
kepemimpinan Presiden Soekarno.(Aju), Sumber Koran: Suara Pembaruan (01 Oktober
2013/Selasa, Hal. 01)