Rabu, 02 Oktober 2013

Gara-gara Konfrontasi Dilakukan Setengah Hati



Nama Brigjen TNI Soepardjo, Panglima Komando Tempur (Pangkopur) IV/Mandau Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat, tidak bisa dilepaskan dari isu seputar Gerakan 30 September (G30S) 1965. Ia dianggap terlibat. Soepardjo berangkat dari Bengkayang ke Jakarta pada 27 September 1965. Nama Soepardjo masuk dalam satu dari 45 namaDewan Revolusi Indonesia yang dipimpin Letkol (Inf) Untung Samsuri. Dewan ini merupakan tandingan terhadap isu terbentuknya Dewan Jenderal yang dipimpin Menteri/Panglima Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), Letjen TNI Ahmad Yani.

Saat peristiwa G30S meletus dan Soeharto mengambil alih keadaan, Soepardjo menjadi buron.Soedjiman, mantan anak buah Soepardjo ketika menjadi Danrem 062/Tarumanegara di Garut 1959-1963, berkisah bahwa ialah yang akhirnya menangkap Soeparjdo.

"Selaku Komandan Satuan Tugas Kalong Djaya, Soepardjo berhasil saya tangkap di Jakarta pada 12 Januari 1967," kata Soedjiman saat ditemui SH di Jakarta, Agustus lalu.

Mayjen (Purn) Soedjiman yang kini berusia 86 tahun, pernah menjabat sebagai Kasi Ter Korem 062/Tarumanegara di Garut, Dandim 0501/Jakarta Pusat, Kasdam XII/ Tanjungpura di Pontianak, Komandan Korps Markas Pertahanan dan Keamanan (Dankorma Hankam), serta Gubernur Kalimantan Barat periode 1978-1988. Ia mengatakan sikap ambisius menjadi faktor penyebab Soepardjo terlibat G30S.

Menurut Soedjiman, selama menjadi Danrem 062/Tarumanegara dengan wilayah kerja meliputi Garut dan Sumedang, Soepardjo berupaya melakukan hal yang terbaik, agar bisa menarik simpati Presiden Soekarno.

Danrem Garut

Selama dua tahun berturut-turut, dua kota di wilayah teritorial Korem 062/Tarumanegara berhasil dinobatkan sebagai kota terbersih di Indonesia, yakni Garut tahun1961 dan Sumedang tahun 1962. Melalui elite PKI, Soepardjo mampu menimbulkan kesan di mata Presiden Soekarno bahwa keberhasilan Garut dan Sumedang sebagai kota terbersih berturut-turut tahun 1961 dan 1962, semata-mata berkat kepemimpinan Danrem 062/Tarumanegara.

Dalam perkembangannya, di tengah keengganan, sebagian besar elite TNI AD di bawah kepemimpinan Letjen TNI Ahmad Yani terlibat terlalu jauh berkonfrontasi dengan Malaysia sejak tahun 1964.Soeparjo dan PKI selalu berada di barisan terdepan dalam mendukung langkah Presiden Soekarno menggempur Sabah dan Sarawak di Kalimantan."Penetapan Soepardjo sebagai Pangkopur IV/ Mandau yang berimplikasi kepada pengukuhan kenaikan pangkatnya dari kolonel menjadi brigadir jenderal, tidak bisa lepas dari dari sikap ambisiusnya menarik simpati Presiden Soekarno melalui elite-elite penting PKI," kata Soedjiman.

Namun, secara keseluruhan para pemimpin TNI AD mengambil posisi unik.Mereka menyetujui perintah Presiden Soekarno mengirimkan tentara ke Kalimantan, hanya karena tidak ingin PKI terus-terusan menikmati keuntungan politik.

TNT AD tidak akan benar-benar serius dalam konfrontasi, agar situasi tak bertambah buruk menjadi perang terbuka Indonesia melawan Malaysia yang didukung Inggris, Australia, dan Selandia Baru. Brigjen Soepardjo mengeluhkan hal ini.Ia melihat konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati. Brigjen Soepardjo merasa operasinya disabotase dari belakang oleh kelompok Letjen TNI Ahmad Yani.

Dokumen Soepardjo

Puncak ketidakkompakan di kalangan elite TNI AD, membuat Brigjen Soepardjo terbang ke Jakarta. Nama Soepardjo kemudian tercantum sebagai Wakil Ketua Dewan Revolusi dari G30S yang dipimpin Untung, hingga kemudian ia dinyatakan buron dan ditangkap mantan anak buahnya sendiri.

Selama persembunyiannya di Jakarta dan sekitarnya, ada tulisan penting Soepardjo yang tidak dicantumkan tanggal dan tahunnya.Tulisan berupa analisis Soepardjo di balik G30S 1965 yang kemudian dikenal sebagai Dokumen Soepardjo.

Salah satunya, Soepardjo menilai pergantian Duta Besar Amerika Serikat dari Howard P Jones kepada Marshall Green pada 26 Juli 1965, merupakan upaya pematangan Central Intelligence Agency (CIA) untuk mengudeta Soekarno.

Marshall Green dikenal sebagai diplomat senior Amerika Serikat, yang ahli menyusun strategi kudeta di sejumlah negara.Selama menjadi Dubes di Seoul, Marshall Green berhasil menumbangkan rezim diktator Syngman Rhee pada 18 April 1960, untuk selanjutnya digantikan Yun Bo-seon pada 23 Agustus 1960.

Referensi Dokumen Soepardjo kemudian menjadi salah satu referensi penting di kalangan sejarawan, analis dan penulis, untuk melalaikan penelitian seputar G30S 1965.

Analisis Soepardjo membuktikan, AS melalui CIA, merupakan arsitek di balik kudeta merangkak Pangkostrad Letjen TNI Soeharto terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno, dengan penyalahgunaan Surat Perintah Presiden Nomor 113 Tahun 1966 tanggal 11 Maret Keppres Nomor 113 Tahun 1996 kemudian lebih dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret.

Sejarawan John Roosa menulis, AS pernah menempatkan Soekarno sebagai musuh nomor satu di dunia dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, karena menjadi satu-satunya penghalang penghancuran komunis di Asia Tenggara.

Kemenangan AS selama perang di Vietnam sama sekali tidak berarti jika komunis di Indonesia tidak segera dihancurkan. Menghancurkan PKI berarti terlebih dahulu merontokkan kepemimpinan Presiden Soekarno.(Aju), Sumber Koran: Suara Pembaruan (01 Oktober 2013/Selasa, Hal. 01)