Terbit 2 Oktober
2013 - 11:34 WIB
JAKARTA,
(TubasMedia.Com) – Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno berpendapat, Melanchton
Siregar pantas kita perjuangkan ke pemerintah pusat untuk memperoleh
penghargaan, karena memiliki ciri-ciri pejuang dan perjuangannya luar biasa.
Hal itu
dikemukakan Try Sutrisno, Wakil Presiden periode 1993-1998, ketika menerima
Panitia Nasional Mengenang 100 Tahun Melanchton Siregar Pengusul Pahlawan
Nasional di kantornya, di Jakarta, Selasa (1/10) siang. Pada kesempatan itu,
Try Sutrisno menerima buku berjudul Melanchton Siregar Mempertahankan NKRI dari
Ketua Panitia Nasional Drs. Supardan, M.A., yang didampingi Sekretaris Drs
Ronald M. Sihombing, dan Bendahara Titi Juliasih.
Menurut Try
Sutrisno, sebagaimana disampaikan Supardan kepada wartawan, tiga ciri pejuang,
yakni, selalu berpikir positif, rela berkorban tanpa pamrih jabatan dan uang,
serta pantang menyerah, dimiliki Melanchton Siregar. Try tertarik pada figur
Melanchton sebagai pejuang yang sedikit bicara, banyak bekerja.
Mantan Panglima
ABRI itu juga meminta agar Panitia Nasional menjabarkan karakter Melanchton
Siregar dan kemudian bersama sejarah perjuangannya disosialisasikan supaya diketahui
masyarakat luas. Ia juga meminta agar buku tentang Melanchton disebarluaskan,
termasuk di kampus-kampus.
Konsisten
Berjuang
Sementara itu,
Ketua Panitia Nasional Supardan menjelaskan mengenai perjuangan Melanchton
Siregar sebagai pendidik, pejuang di medan pertempuran, politisi, dan
negarawan, hingga tutup usia pada 24 Februari 1975 dan keesokan harinya
dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Dokumen usul agar
pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Melanchton disampaikan
pada Juni 2013.
Melanchton,
kelahiran Pearung, Tapanuli Utara, pada 7 Agustus 1912, dikenal sebagai figur
yang konsisten dan berkesinambungan berjuang merebut kemerdekaan dan kemudian
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam kiprahnya
sebagai negarawan, ia juga konsisten membela Pancasila dan UUD 1945.
Semua catatan
perjuangan itu terangkum dalam buku Melanchton Siregar Mempertahankan NKRI
(MSMN), ditulis oleh Aco Manafe, wartawan senior, yang isinya dari berbagai
sumber, di antaranya, tiga seminar nasional di Jakarta, Doloksanggul (Kabupaten
Humbang Hasundutan) , dan Medan, pada Agustus-September 2012, para pelaku
sejarah dan tokoh nasional, testimoni para pejuang, serta kepustakaan.
Setelah
menelusuri jejak-jejak kepejuangan Melanchton, terutama pada masa perang
melawan pasukan Belanda di wilayah Sumatera Utara, maka berbagai elemen
masyarakat serta unsur pemerintah daerah mengajukan usul kepada Pemerintah
Pusat agar kepada Melanchton Siregar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, tahun
2013 ini. Dokumen usul tersebut disusun Masyarakat Sejarawan Sumatera Utara
yang dikoordinasikan oleh Dr. Suprayitno, M.Hum.
Kiprah
Melanchton dalam pergerakan kebangsaan dimulai dari dunia pendidikan. Setelah
menyelesaikan studi di Hoofdacte Cursus (setingkat D III pendidikan) di Bandung
pada 1938, ia pulang ke Tapanuli dan mulai mengajar pada jenjang sekolah rakyat
(SD) di Narumonda. Lokasi tempatnya mencerdaskan bangsa berpindah-pindah,
antara lain, Sidikalang, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Medan. Bekerja di
beberapa tempat dan kemudian bersahabat dengan kalangan muda yang berbeda latar
belakang, makin mengasah dan menempa jiwa kebangsaannya.
Ia juga
melanjutkan minatnya berorganisasi, yang diawalinya pada saat menjadi siswa
MULO di Tarutung, Tapanuli Utara. Aktivitas di pergerakan kemerdekaan itu tentu
dilakukan secara diam-diam agar tidak sampai diketahui oleh pasukan Belanda dan
kemudian Jepang. Pada Agustus 1944, ia bersama rekannya, Achmad Delui Rangkuti,
pernah ditangkap oleh polisi rahasia Jepang atau Kempetai, dengan tuduhan
anti-Dai Nippon. Melanchton dan rekannya dengan tegas membantah sebagai
mata-mata sekutu. Setelah dua bulan ditahan, dan sempat disuruh menggali dua
lubang seukuran kuburan, Melanchton dan Delui Rangkuti, akhirnya dibebaskan.
Kiprah heroik
Melanchton tergambar pada wajah perang mempertahankan kemerdekaan RI, terutama
menghadapi agresi militer Belanda I dan II, yang berupaya menancapkan kembali
pengaruhnya. Dengan memimpin pasukan rakyat bernama Divisi Panah, Melanchton
menunjukkan sosok pejuang, yang mempertaruhkan nyawa. Ia dan pasukannya
berjuang antara Medan Area dan Tapanuli.
Dua kali pasukan
Belanda membom markas pasukan Melanchton. Pertama di Pematang Siantar, yang
memaksa pejuang itu mengungsi ke Tapanuli Utara. Ia dan pasukannya mendirikan
markas di sekitar Muara. Kedua, pasukan penjajah membom di Lintong Nihuta,
karena mengira Melanchton, dengan nama samaran Partahuluk Raso, berada di sana.
Ternyata, pemimpin pejuang rakyat itu berada di tempat lain, yakni Gua
Sitio-tio, tak jauh dari Lintong Nihuta.
Pasukan Divisi
Panah tak hanya mengangkat senjata, tapi juga membuka jaringan agar logistik
untuk pasukan rakyat dari laskar lainnya, tersalur dengan lancar. Logistik
sangat diperlukan agar gerakan rakyat bersenjata dapat menembus pertahanan
musuh. Melanchton juga terus berupaya menjaga agar kehidupan masyarakat, yang
mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian, tetap berlangsung seperti
biasa.
Di tengah-tengah
desingan peluru, komitmen Melanchton pada pendidikan tidak pernah luntur.
Sekalipun keamanan tidak terjamin, ia tetap menyempatkan diri mengajar
penduduk. Ia mendorong warga ikut mendirikan bangunan sekolah. Untuk memenuhi
kebutuhan akan pendidik, ia melatih bekas anak didiknya menjadi guru.
Politisi dan
Negarawan
Melanchton tidak
pernah berhenti berjuang. Di bidang politik, ia memasuki Partai Kristen
Indonesia (Parkindo) dan menjadi salah seorang pimpinan. Hasil Pemilu 1955
(pemilu pertama RI), mengantarkannya menjadi anggota DPR di Jakarta.
Setelah
menyelesaikan perjuangan sebagai anggota DPR (1955-1960), ia terpilih sebagai
anggota DPR-GR/MPRS, dan kemudian menjadi Wakil Ketua MPRS (1966-1972). Dengan
berakhirnya pengabdian di MPRS, Melanchton diangkat menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung (1973) sampai wafat pada 24 Februari 1975.
Dalam kiprahnya
sebagai politisi dan negarawan, Melanchton mengedepankan sifat sabar, tenang,
dan tekun. Dengan sikap demikian, ia mampu menyelesaikan masalah-masalah pelik
dan peka, tanpa ada yang merasa kalah atau kehilangan muka. Pada masa itu, MPRS
yang diketuai Jenderal A.H. Nasution, juga dihadapkan pada masalah pelik dan
peka, yang tidak mudah diselesaikan.
A.H. Nasution
memercayakan penyelesaian masalah pelik dan peka kepada Melanchton, karena
punya sikap sabar dan tenang. Melanchton pun disebut sebagai “perwira proyek”
untuk soal-soal yang peka. Di antaranya, menjadi Ketua Panitia Kesatuan Tafsir
Pancasila.
Sebagai anggota
DPR, MPRS, dan kemudian DPA, Melanchton menunaikan pengabdian dalam bidang
diplomasi di dalam dan luar negeri. Dalam kunjungan di berbagai negara dan
menghadiri Sidang PBB di New York, ia menjalin persahabatan dan kerja sama. Tak
lupa, dia menggali pengetahuan tentang pembangunan, demokrasi, dan kebangsaan. (ender)