Kamis, 03 Oktober 2013

TRY SUTRISNO: TIGA CIRI PEJUANG DIMILIKI MELANCHTON SIREGAR



Terbit 2 Oktober 2013 - 11:34 WIB


JAKARTA, (TubasMedia.Com) – Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno berpendapat, Melanchton Siregar pantas kita perjuangkan ke pemerintah pusat untuk memperoleh penghargaan, karena memiliki ciri-ciri pejuang dan perjuangannya luar biasa.

Hal itu dikemukakan Try Sutrisno, Wakil Presiden periode 1993-1998, ketika menerima Panitia Nasional Mengenang 100 Tahun Melanchton Siregar Pengusul Pahlawan Nasional di kantornya, di Jakarta, Selasa (1/10) siang. Pada kesempatan itu, Try Sutrisno menerima buku berjudul Melanchton Siregar Mempertahankan NKRI dari Ketua Panitia Nasional Drs. Supardan, M.A., yang didampingi Sekretaris Drs Ronald M. Sihombing, dan Bendahara Titi Juliasih.

Menurut Try Sutrisno, sebagaimana disampaikan Supardan kepada wartawan, tiga ciri pejuang, yakni, selalu berpikir positif, rela berkorban tanpa pamrih jabatan dan uang, serta pantang menyerah, dimiliki Melanchton Siregar. Try tertarik pada figur Melanchton sebagai pejuang yang sedikit bicara, banyak bekerja.

Mantan Panglima ABRI itu juga meminta agar Panitia Nasional menjabarkan karakter Melanchton Siregar dan kemudian bersama sejarah perjuangannya disosialisasikan supaya diketahui masyarakat luas. Ia juga meminta agar buku tentang Melanchton disebarluaskan, termasuk di kampus-kampus.

Konsisten Berjuang

Sementara itu, Ketua Panitia Nasional Supardan menjelaskan mengenai perjuangan Melanchton Siregar sebagai pendidik, pejuang di medan pertempuran, politisi, dan negarawan, hingga tutup usia pada 24 Februari 1975 dan keesokan harinya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Dokumen usul agar pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Melanchton disampaikan pada Juni 2013.

Melanchton, kelahiran Pearung, Tapanuli Utara, pada 7 Agustus 1912, dikenal sebagai figur yang konsisten dan berkesinambungan berjuang merebut kemerdekaan dan kemudian mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam kiprahnya sebagai negarawan, ia juga konsisten membela Pancasila dan UUD 1945.

Semua catatan perjuangan itu terangkum dalam buku Melanchton Siregar Mempertahankan NKRI (MSMN), ditulis oleh Aco Manafe, wartawan senior, yang isinya dari berbagai sumber, di antaranya, tiga seminar nasional di Jakarta, Doloksanggul (Kabupaten Humbang Hasundutan) , dan Medan, pada Agustus-September 2012, para pelaku sejarah dan tokoh nasional, testimoni para pejuang, serta kepustakaan.

Setelah menelusuri jejak-jejak kepejuangan Melanchton, terutama pada masa perang melawan pasukan Belanda di wilayah Sumatera Utara, maka berbagai elemen masyarakat serta unsur pemerintah daerah mengajukan usul kepada Pemerintah Pusat agar kepada Melanchton Siregar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, tahun 2013 ini. Dokumen usul tersebut disusun Masyarakat Sejarawan Sumatera Utara yang dikoordinasikan oleh Dr. Suprayitno, M.Hum.

Kiprah Melanchton dalam pergerakan kebangsaan dimulai dari dunia pendidikan. Setelah menyelesaikan studi di Hoofdacte Cursus (setingkat D III pendidikan) di Bandung pada 1938, ia pulang ke Tapanuli dan mulai mengajar pada jenjang sekolah rakyat (SD) di Narumonda. Lokasi tempatnya mencerdaskan bangsa berpindah-pindah, antara lain, Sidikalang, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Medan. Bekerja di beberapa tempat dan kemudian bersahabat dengan kalangan muda yang berbeda latar belakang, makin mengasah dan menempa jiwa kebangsaannya.

Ia juga melanjutkan minatnya berorganisasi, yang diawalinya pada saat menjadi siswa MULO di Tarutung, Tapanuli Utara. Aktivitas di pergerakan kemerdekaan itu tentu dilakukan secara diam-diam agar tidak sampai diketahui oleh pasukan Belanda dan kemudian Jepang. Pada Agustus 1944, ia bersama rekannya, Achmad Delui Rangkuti, pernah ditangkap oleh polisi rahasia Jepang atau Kempetai, dengan tuduhan anti-Dai Nippon. Melanchton dan rekannya dengan tegas membantah sebagai mata-mata sekutu. Setelah dua bulan ditahan, dan sempat disuruh menggali dua lubang seukuran kuburan, Melanchton dan Delui Rangkuti, akhirnya dibebaskan.

Kiprah heroik Melanchton tergambar pada wajah perang mempertahankan kemerdekaan RI, terutama menghadapi agresi militer Belanda I dan II, yang berupaya menancapkan kembali pengaruhnya. Dengan memimpin pasukan rakyat bernama Divisi Panah, Melanchton menunjukkan sosok pejuang, yang mempertaruhkan nyawa. Ia dan pasukannya berjuang antara Medan Area dan Tapanuli.

Dua kali pasukan Belanda membom markas pasukan Melanchton. Pertama di Pematang Siantar, yang memaksa pejuang itu mengungsi ke Tapanuli Utara. Ia dan pasukannya mendirikan markas di sekitar Muara. Kedua, pasukan penjajah membom di Lintong Nihuta, karena mengira Melanchton, dengan nama samaran Partahuluk Raso, berada di sana. Ternyata, pemimpin pejuang rakyat itu berada di tempat lain, yakni Gua Sitio-tio, tak jauh dari Lintong Nihuta.

Pasukan Divisi Panah tak hanya mengangkat senjata, tapi juga membuka jaringan agar logistik untuk pasukan rakyat dari laskar lainnya, tersalur dengan lancar. Logistik sangat diperlukan agar gerakan rakyat bersenjata dapat menembus pertahanan musuh. Melanchton juga terus berupaya menjaga agar kehidupan masyarakat, yang mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian, tetap berlangsung seperti biasa.

Di tengah-tengah desingan peluru, komitmen Melanchton pada pendidikan tidak pernah luntur. Sekalipun keamanan tidak terjamin, ia tetap menyempatkan diri mengajar penduduk. Ia mendorong warga ikut mendirikan bangunan sekolah. Untuk memenuhi kebutuhan akan pendidik, ia melatih bekas anak didiknya menjadi guru.

Politisi dan Negarawan

Melanchton tidak pernah berhenti berjuang. Di bidang politik, ia memasuki Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan menjadi salah seorang pimpinan. Hasil Pemilu 1955 (pemilu pertama RI), mengantarkannya menjadi anggota DPR di Jakarta.

Setelah menyelesaikan perjuangan sebagai anggota DPR (1955-1960), ia terpilih sebagai anggota DPR-GR/MPRS, dan kemudian menjadi Wakil Ketua MPRS (1966-1972). Dengan berakhirnya pengabdian di MPRS, Melanchton diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (1973) sampai wafat pada 24 Februari 1975.

Dalam kiprahnya sebagai politisi dan negarawan, Melanchton mengedepankan sifat sabar, tenang, dan tekun. Dengan sikap demikian, ia mampu menyelesaikan masalah-masalah pelik dan peka, tanpa ada yang merasa kalah atau kehilangan muka. Pada masa itu, MPRS yang diketuai Jenderal A.H. Nasution, juga dihadapkan pada masalah pelik dan peka, yang tidak mudah diselesaikan.

A.H. Nasution memercayakan penyelesaian masalah pelik dan peka kepada Melanchton, karena punya sikap sabar dan tenang. Melanchton pun disebut sebagai “perwira proyek” untuk soal-soal yang peka. Di antaranya, menjadi Ketua Panitia Kesatuan Tafsir Pancasila.

Sebagai anggota DPR, MPRS, dan kemudian DPA, Melanchton menunaikan pengabdian dalam bidang diplomasi di dalam dan luar negeri. Dalam kunjungan di berbagai negara dan menghadiri Sidang PBB di New York, ia menjalin persahabatan dan kerja sama. Tak lupa, dia menggali pengetahuan tentang pembangunan, demokrasi, dan kebangsaan. (ender)