Selasa, 01 Oktober 2013

Mengenang Peristiwa 30 September dan Kontroversi Tap MPRS tentang PKI



Senin, 30/09/2013 18:02 WIB


Jakarta - Hari ini tepat 48 tahun rakyat Indonesia mengenang peristiwa 30 September 1965, sebuah peristiwa yang mengubah pandangan masyarakat tentang Komunisme. Setelah peristiwa itu, dikeluarkan TAP MPRS No 25 pada tanggal 5 Juli 1966 yang melarang penyebaran ideologi Marxisme dan Komunisme.

"Padahal, gerakan 30 September memang dirancang untuk gagal, tak lain dan tak bukan adalah cara yang ditempuh Soeharto untuk menghancurkan PKI. Sekali lagi itu bukanlah kudeta PKI, itu adalah masalah intern dan PKI tidak pernah campur tangan," ujar Bedjo Untung, Ketua YPKP (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan) 65 dalam diskusi dengan tema "TAP MPRS No 25 tahun 1966, Masihkah diakui?" di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Senin (30/9/2013).

Dari sejarah, dapat dilihat bahwa TAP MPRS No 25 tahun 1966 ditetapkan ketika Soekarno masih menjadi Presiden RI. Pada bulan Juni 1966, MPRS di bawah ancaman Angkatan Darat (AD) telah menerima usulan pimpinan AD untuk memasukkan Supersemar dalam TAP MPRS No 9 tahun 1966. TAP ini kemudian dijadikan landasan bagi Soeharto untuk menyatakan bahwa secara konstitusional Soekarno tidak lagi memegang jabatan presiden.

"Padahal, Supersemar bukan transfer of authority, tapi hanya pengamanan revolusi Indonesia dan ajaran Bung Karno. Tapi dengan modal Supersemar maka Soeharto pada 12 Maret dengan mengatasnamakan Presiden membubarkan PKI," tuturnya.

Ketika TAP MPRS No 25 tahun 1966 ditetapkan, maka otomatis sejak itu PKI sebagai Parpol dinyatakan dibubarkan dan Marxisme-Leninisme dinyatakan sebagai ideologi terlarang. " Sejak peristiwa 30 September, PKI dikejar-kejar, semua yang terlibat diburu dan dibunuh secara massal, TNI melakukan penangkapan secara besar-besaran," tutur Bedjo.

Beberapa dekade kemudian, kontroversi pencabutan TAP MPRS no 25 tahun 1966 ini pernah terjadi pada era kepemimpinan Gus Dur. Presiden ke-4 RI tersebut mengusulkan pencabutan TAP MPRS ini karena telah dianggap usang alias out of date, dan alasan yang paling fundamental adalah kemanusiaan.

Akan tetapi tidak banyak orang berani berubah. Sepanjang April 2000, Gus Dur banyak sekali menerima tekanan dari berbagai pihak seperti MUI, Parpol seperti Partai Bulan Bintang yang menyatakan penolakan kerasnya terhadap usulan Gus Dur. Massa FUII bahkan menggelar aksi di sepanjang jalan Medan Merdeka Utara waktu itu.

"Dewasa ini, para akademisi dan sejarawan menganggap bahwa dasar pertimbangan TAP MPRS no 25 tahun 1966 ini dianggap tidak logis dan terkesan berat sebelah. Fakta yang ditonjolkan dalam proposisi yang menjadi dasar pertimbangan hanya tuduhan bahwa PKI telah beberapa kali menjatuhkan pemerintahan RI dengan jalan kekerasan," kata Mostofa Bahri, Dosen Hukum Tata Negara UI.
Sehingga dari banyaknya diskusi yang terjadi setelah era keterbukaan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa TAP MPRS No 25 tahun 1966 ini cacat hukum dan inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945 dan Supersemar yang menjadi dasar kemunculannya.

"Sementara, Marxisme dan Leninisme yang dianggap bertentangan dengan Pancasila adalah alasan yang dicari-cari dan mengada-ada. Padahal Bung Karno telah membuat rumusan Pancasila dari ideologi tersebut yang diramu dengan Declaration of Independence-nya Amerika. Semua sudah tercantum di Pancasila kita," pungkasnya. Rini Friastuti – detikNews