Reformasi TNI tampaknya juga semakin menunjukkan transformasi pertahanan Indonesia. Melihat apa yang dicapai saat ini, menjadi sangat mungkin untuk mewujudkan harapan Indonesia menjadi kekuatan militer tangguh di Asia Tenggara sekitar 10 tahun lagi.
Betapapun, reformasi TNI membuahkan beberapa sisi positif. Kini, menurut Kusnanto, TNI tampaknya sudah kembali memperoleh kepercayaan publik. Beberapa survei menunjukkan betapa kredibilitas TNI jauh melebihi DPR dan Polri.
"Bagi saya, tema HUT ke-68 TNI, profesional, militan, solid, bersama rakyat TNI kuat", adalah sebuah pernyataan retrospektif dan kecemasan TNI terhadap dirinya sendiri - bukan pernyataan korektif terhadap penyelenggaraan sistem yang lebih demokratik yang diawali oleh reformasi TNI," ujar Pengamat militer yang juga pengajar di program pasca sarjana hubungan Internasional dan kajian intelijen strategis di Universitas Indonesia Dr. Kusnanto Anggoro, kepada Suara Karya di Jakarta beberapa waktu lalu.
Banyak yang dicapai, tuturnya, 14 tahun sejak reformasi TNI, terhitung dari pencanangan paradigma baru TNI (Oktober 1999). Namun masih lebih banyak lagi yang harus diwujudkan. "Rakyat selalu berharap TNI tetap netral dalam politik praktis. Namun saya kira rakyat juga berharap agar TNI kembali memiliki keperkasaan sebuah tentara dan kewiratamaan prajurit, ujarnya.
Dikemukakan, tentara rakyat memang merupakan salah stau unsur penting dari jatidiri TNI. Panglima Besar Jenderal Sudirman mengatakan bahwa hubungan antara TNI dan rakyat bagaikan ikan dengan air. Kebersamaan dengan rakyat pula yang menyebabkan Indonesia pada akhirnya berhasil merebut dan menegakkan kedaulatan negara. Meskipun jauh berkurang, selama ini TNI masih tetap memelihara hubungan seperti itu, termasuk melalui program-program sosial seperti AMD (ABRI/TNI Masuk Desa) yang pernah menjadi instrumen politik rejim Suharto pada masa Orde baru.
Istilah bersama rakyat TNI kuat", sebagai bagian dari tema HUT ke-68 TNI. tampaknya salah satu bentuk penegasan atas kredo TNI itu.
"Saya tidak berani jauh-jauh berspekulasi bahwa penegasan kredo itu merupakan manifestasi distansiasi institusi TNI dari pemerintah dan/atau manifestasi dari meluasnya sikap anti politik beberapa anggota TNI," ujar Kusnanto.
Kecederungan konvergensi antara distansiasi institusi dan sikap anti-politik beberapa anggota TNI - itupun barangkali, tuturnya, baru ter¬jadi pada tingkatan yang sa¬ngat kecil. "Itu bukan pencer¬minan dari kembalinya ten¬tara politik," jelasnya.
Kontekstualisasi paling jauh dan paling kontemporer dari kredo itu, menurut dia, adalah pada kebijakan, strategi, dan program-program terkait dengan komponen cadangan dan pendukung pertahanan negara. Dalam konteks ini istilah "rakyat" yang secara konotatif berarti warga negara tampaknya memang harus dikonversi menjadi komponen-komponen non-militer, baik yang siap dimobilisasi (komponen cadangan) maupun yang menopang kemampuan pertahanan militer (komponen pendukung). Karena alasan historis (perang kemerdekaan), optimalisasi pemanfaatan sumberdaya nasional (konsepsi pertahanan semesta), ataupun karena jalinan antara ancaman militer dan ancaman nirmiliter ada kebutuhan amal besar tentang partisipasi rakyat dalam upaya belanegara.
Tentu saya tidak menyangkal bahwa penegasan kredo 'tentara rakyat' itu tidak akan menjelma menjadi fenomena politik yang mengikis apa yang sudah diraih dari reformasi TNI." katanya.
Masih menjadi tanda tanya seberapa besar gaung ajakan TNI sebagai stimulator perubahan itu akan terjadi dan menjadi sikap resmi pimpinan TNI. Menjadi tanda tanya yang tak kalah penting untuk senantiasa mencegah kekestariaan bisa diwujudkan melalui tindakan pelanggaran hukum dan/atau kekejaman terhadap mereka yang tak berdaya. Tak seorangpun bisa memastikan jawaban itu. "Kaya mengamati dan hanya bisa menegaskan, orientasi pimpinan TNI tidak akan berubah dalam 10 tahun mendatang. Sepanjang kurun waktu itu, dukungan mereka terhadap system demokrasi masih lelap dapat diandalkan." (Windrarto), Sumber Koran: Suara Karya (08 Oktober 2013/Selasa, Hal. 03)