Senin, 07 Oktober 2013 | 10:47
Pada 5 Oktober 2013, Tentara Nasional Indonesia (TNI) genap berusia 68 tahun. Persoalan netralitas dan profesionalisme prajurit TNI masih menjadi sorotan, apalagi tahun depan masyarakat Indonesia menggelar pesta demokrasi untuk memilih para pemimpin mereka.
Netralitas TNI masih menjadi sorotan karena kedewasaan berpolitik masyarakat masih belum sempurna. Faktor luar masih memungkinkan prajurit TNI terseret dalam arus politik Tanah Air. Para elite politik, baik dari kalangan sipil maupun purnawirawan, diharapkan tetap menjaga netralitas dan profesionalitas TNI dengan tidak mengajak prajurit berpolitik praktis.
Keikutsertaan prajurit TNI dalam politik praktis tidak hanya bisa memecah-belah institusi penjaga pertahanan dan kedaulatan negara itu. Mengajak prajurit untuk berpihak kepada salah satu kubu politik juga dapat memecah belah seluruh komponen bangsa yang ujungnya bisa membawa Indonesia ke gerbang kehancuran.
Penegasan tentang netralitas TNI dalam panggung politik Indonesia sudah ada sejak 12 tahun lalu melalui Ketetapan MPR Nomor MPR RI/VII/2000. Tap MPR itu menegaskan bahwa TNI tidak lagi menggunakan hak memilih dan dipilih. Keikutsertaan TNI dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui MPR paling lama sampai 2009. Penggunaan hak memilih dan dipilih itu kembali dipertegas dalam UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD, dan DPD.
Penegasan tentang pentingnya netralitas TNI dalam panggung politik berdasarkan pengalaman pada Orde Baru (Orba). Keberpihakan prajurit TNI--yang memiliki kekuatan senjata--telah menimbulkan ketakutan masyarakat untuk bisa berpolitik secara bebas dan demokratis.
Saat ini, jajaran petinggi TNI pun sadar bahwa netralitas prajurit masih sangat diperlukan sampai saat ini. Panglima TNI Jenderal Moeldoko, yang baru dilantik pada 30 Agustus lalu, juga berjanji akan tetap menjaga netralitas prajurit sesuai rencana strategis TNI, seperti yang diamanatkan negara. Bahkan, untuk Pemilu 2014, Moeldoko menegaskan bahwa TNI beserta seluruh elemen lainnya akan bersikap netral. Netralitas itu sangat dibutuhkan untuk menjaga agar Pemilu 2014 berjalan secara tertib, bebas, adil, dan damai.
Tapi, Panglima TNI juga mengingatkan agar tidak ada elemen masyarakat atau kekuatan politik yang menyeret prajurit ke kancah politik 2014. Pernyataan itu merupakan peringatan bagi elite politik untuk ikut menjaga sikap netral prajurit.
Sikap Panglima TNI itu beralasan. Penggunaan hak pilih prajurit TNI bisa menimbulkan perpecahan internal. Apalagi, saat ini ada beberapa mantan petinggi TNI yang menyatakan siap bersaing dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Belum lagi sejumlah mantan petinggi TNI yang menjadi calon anggota legislatif (caleg). Sebagai aparat negara yang memegang senjata, munculnya kubu-kubu di kalangan militer itu tentu membahayakan keamanan rakyat dan bisa mencoreng perjalanan demokrasi di Indonesia.
Jadi, secara internal, prajurit TNI masih mudah dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan lain di luar kepentingan negara. Fakta membuktikan, belakangan ini masih ada konflik antara oknum prajurit TNI dan sipil terkait persoalan-persoalan ekonomi. TNI belum sepenuhnya pulih dari kerusakan kultural masa lalu.
Jika persoalan internal itu belum dibenahi total, wajar jika muncul kekhawatiran publik kalau TNI bakal kembali terseret ke pusaran politik praktis, terutama dengan kehadiran sejumlah mantan jenderal dalam bursa capres. Bukan tidak mungkin para bintang itu masih memiliki pengaruh untuk menggunakan kekuatan yang dimiliki militer untuk kepentingan politik mereka.
Politisi sipil juga berpeluang untuk memanfaatkan kekuatan yang dimiliki militer aktif demi kepentingan politik. Kita tentu menginginkan agar para calon pemimpin, baik dari kalangan sipil atau militer, mau menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik. Kita ingin agar para bintang bersama politisi sipil bisa bertarung merebut kursi kepemimpinan nasional secara jujur dan adil, dua kata yang sering diucapkan dan seharusnya mudah pula dilaksanakan.
Meski prajurit tidak menggunakan hak politik mereka, bukan berarti mereka buta sama sekali terhadap dunia politik. Prajurit justru harus dibekali pengetahuan yang luas tentang politik. Selain agar mereka semakin paham tentang kehidupan bernegara, pengetahuan tentang politik juga akan membuat prajurit bisa mengerti dan menghindar jika ada kekuatan politik berusaha menarik mereka. Selain itu, pengetahuan politik itu akan bermanfaat saat kedewasaan politik masyarakat dan elite semakin baik dan prajurit bisa kembali menggunakan hak mereka untuk memilih. Dirgahayu TNI.