Jakarta, Selangkah lagi, Jenderal TNI Moeldoko resmi
menjadi Panglima Tentara Nasional Indonesia setelah DPR menyetujui pengangkatan
calon Panglima TNI pada sidang paripurna, Selasa (27/8). Jenderal TNI Moeldoko
menggantikan Laksamana TNI Agus Suhartono yang akan memasuki masa pensiun.
Sejumlah
persoalan akan menjadi tantangan yang tidak mudah bagi Panglima TNI yang baru.
Namun, yang paling mendesak ialah netralitas TNI. Panglima TNI harus
benar-benar menunjukkan komitmennya kepada rakyat Indonesia soal ini.
Terlebih,
pelaksanaan pesta demokrasi tahun 2014 sudah di depan mata. "Dalam
konteks ini, seluruh rakyat Indonesia menunggu janji dan komitmen Panglima TNI
yang baru untuk menjunjung tinggi netralitas TNI," kata pengamat militer
Ikrar Nusa Bakti, saat dihubungi Pelita, di Jakarta, Selasa (27/8).
Pernyataan Ikrar
untuk merespons persetujuan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI
Moeldoko menjadi Panglima TNI menggantikan Laksamana TNI Agus Suhartono yang
segera memasuki masa pensiun, kemarin.
Ikrar
mengatakan, secara teori bisa saja Panglima TNI berkomitmen menjunjung tinggi
netralitas TNI. Namun, secara praktik di lapangan terjadi tindakan-tindakan
yang mengerahkan anggota TNI terkait dengan suksesi
kepemimpinan.
"Misalnya saja terkait penggelembungan suara atau pengerahan massa untuk
calon tertentu yang memiliki akseptabilitas tinggi terhadap TNI,"
katanya.
Masalah lapangan
ini juga dikeluhkan anggota Komisi I Tjahjo Kumolo, dalam uji kelayakan dan
kepatutan, sebelumnya. Tjahjo menyatakan, pernyataan Moeldoko bisa berbeda
dengan apa yang terjadi di level bawah. Aparatur TNI di tingkat desa dirasakan
Tjahjo tidak bertindak netral terhadap semua kekuatan politik. "Ini
pengalaman kami dalam pemilu sebelumnya," katanya.
Hal lain, kata
Ikrar, yang menjadi perhatian serius Panglima TNI yang baru adalah profesional
TNI, selain itu, tidak melihat pertahanan Indonesia dari sisi pertahanan darat
saja. "Indonesia ini bukanlah negara daratan, tapi negara kepulauan.
Karena itu persoalan pertahanan juga harus mencakup masalah kepulauan,
termasuk juga persoalan kedirgantaraan," katanya.
Lebih lanjut, Ikrar
mengatakan, "masalah HAM juga menjadi persoalan yang harus diperhatikan Panglima
TNI. Di samping itu juga terkait dengan peningkatan SDM dan penguatan alutsista
TNI. Netralitas juga ditekankan oleh politisi PPP Syaifullah Tamliha.
"Panglima TNI juga harus mampu mengawal Pemilu 2014 benar-benar jurdil dan
luber," kata Syaifullah.
"Tak kalah
penting, Panglima TNI harus membangun kekuatan perang, dengan standar minimal
kekuataan militer yang mengandalkan industri pertahanan dalam negeri,"
tegas Syaifullah.
Anggota Komisi I
DPR Marsdya (Purn) M Basri Sidehabi menekankan pentingnya Panglima TNI
menuntaskan operasi militer selain perang (OMSP). Di sini, ada 14 item OMSP TNI
yang masih abu-abu. "Butuh penjelasan detail kapan TNI bisa bertindak di
luar tugas utamanya," kata Basri.
Soal
penanggulangan terorisme, TNI masih bimbang membantu kepolisan. "Sekarang
TNI diam saja, padahal polisi dan rakyat sudah menjadi korban teroris. (Peran
TNI) belum clear," ujar politisi Partai Golkar ini.
Soal netralitas,
kembali ditekankan Moeldoko dalam sidang Paripurna DPR. "TNI harus netral,
karena kalau tidak netral akan mencederai demokrasi," katanya. Ini kedua
kalinya alumnus Akmil 1981 itu menegaskan
soal netralitas, setelah sebelumnya ditegaskan saat.
Moeldoko
berjanji seluruh prajurit TNI bersikap netral dalam Pemilu 2014.
"Masyarakat tidak perlu khawatir terhadap netralitas TNI sebagai garda
depan dalam pertahanan dan keamanan Negara," katanya. (ay/cr-14), Sumber
Koran: Pelita (28 Agustus 2013/Rabu, Hal. 01)