Jumat, 30 Agustus 2013 06:00:00
Merdeka -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menunjuk Letnan Jenderal Budiman menjadi Kepala Staf TNI AD. Budiman akan menggantikan Jenderal Moeldoko yang naik pangkat menjadi Panglima TNI.
Setiap pergantian Kasad dengan segala dinamikanya memang selalu menarik diikuti. Di era Orde Lama, ada cerita menarik soal Jenderal Achmad Yani yang diangkat menjadi Kasad oleh Presiden Soekarno 28 Juni 1962.
Saat itu Soekarno mengangkat Kasad Jenderal Abdul Haris Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Kasab). Secara jabatan, Nasution mendapat promosi. Tetapi secara kewenangan, Nasution seperti dilucuti. Ibaratnya, Kasab hanya mengurus administrasi, tidak lagi memegang komando pasukan. Hubungan Soekarno dan Nasution memang tak begitu serasi.
Soekarno meminta Nasution menyerahkan sejumlah nama perwira tinggi TNI AD. Nasution mengajukan sejumlah nama, semuanya ditolak Soekarno. Presiden malah meminta nama-nama lain. Nasution pun mengajukan calon-calon lain. Ada Mayor Jenderal Ahmad Yani di posisi paling buncit.
Yani memang tergolong jenderal junior. Itulah kenapa Nasution tak memasukannya ke dalam daftar pertama. Tapi justru Soekarno akhirnya memilih Yani.
Saat itu Yani menjabat Kepala Staf Gabungan Komando Tertinggi (KOTI) pembebasan Irian Barat. Yani juga menjadi juru bicara tunggal Panglima Tertinggi soal Irian Barat. Hampir setiap hari dia rapat dengan Soekarno di Istana. Hubungan mereka kemudian memang erat. Setelah menjabat Kasad, hubungan Yani dan Soekarno makin akrab.
"Banyak yang bilang bapak jadi anak emas Presiden Soekarno," kata putri Yani, Amelia A Yani dalam buku Achmad Yani Tumbal Revolusi terbitan Galang Press.
Di sisi lain, Nasution dan Yani malah sering berdebat. Keduanya kerap berbeda pendapat soal pembangunan Angkatan Darat. Yani dikenal tegas, blak-blakkan dan jarang basa-basi.
Di masa kepemimpinan Yani, Angkatan Darat disibukkan Operasi Trikora merebut Irian Barat dari Belanda. Setelah itu Operasi Dwikora menghadapi konfrontasi dengan Malaysia.
Di sela-sela itu, Amelia Yani mengingat hubungan ayahnya dan Presiden Soekarno sangat dekat. Amelia mengingat Soekarno ikut peduli dengan renovasi rumah Yani di Menteng. Soekarno juga sering mengajak Yani ikut dalam kunjungan ke daerah. Bahkan menyempatkan hadir saat syukuran rumah Yani.
"Hari Minggu pun Bapak dan Ibu sering menemani Bung Karno dan ibu Hartini ngobrol-ngobrol di Istana Bogor," kenang Amelia.
Perkembangan politik meniupkan angin panas ke Jakarta. Partai Komunis Indonesia makin kuat. Merasa mendapat angin dari Soekarno, PKI makin melebarkan sayapnya. Hanya satu ganjalan mereka. Angkatan Darat di bawah Yani terang-terangan menolak segala kebijakan negara yang dipengaruhi PKI.
Yani menolak mentah-mentah permintaan Ketua CC PKI Dipa Nusantara Aidit yang meminta buruh dan kaum tani dipersenjatai. Kemudian beredar isu Dewan Jenderal dan dokumen asing yang menyebut kolaborasi sejumlah jenderal AD dengan Barat. Berlawanan dengan Soekarno dan PKI yang cenderung ke negara Blok Timur seperti Tiongkok dan Soviet. Yani dan kelompoknya disebut akan mengkudeta Soekarno.
Perlahan hubungan Soekarno dan Yani pun menjauh. Hubungan mereka tak semesra dulu. Puncaknya Soekarno berencana memanggil Yani ke istana. Dia berniat mengganti Yani dengan Jenderal Moersjid. Yani tak pernah tahu soal itu.
Sejarah berkata lain. Yani tak pernah datang ke Istana menemui Soekarno. Pukul 04.30 WIB, sepasukan tentara datang menjemput Yani. Yani diminta menghadap Soekarno. Karena sudah ada rencana hendak ke Istana, Yani tak curiga. Dia meminta waktu berganti pakaian dengan seragam dinas.
"Tak usah ganti baju, jenderal!" bintara Tjakrabirawa itu membentak.
Yani marah. Masak bintara berani kurang ajar pada jenderal. Dia berbalik dan menempeleng prajurit itu.
Melihat peristiwa tersebut, seorang prajurit lain memberondong tubuh Yani dengan senapan otomatis. Sang jenderal pun tewas berlumuran darah.
Gerombolan prajurit itu menyeret jenazah Yani. Membawanya pergi, tapi bukan ke Istana. Mereka pergi ke Timur Jakarta, sebuah tempat bernama Lubang Buaya.
Korban subuh berdarah itu tak cuma Yani. Lima jenderal dan satu letnan menjadi korban gerakan 30 September pimpinan Letkol Untung Syamsuri itu. Sebuah episode paling kelam dalam sejarah Indonesia.
Akhir tragis seorang jenderal yang pernah jadi kesayangan Soekarno. [ian]