JAKARTA -
Pembelian delapan helikopter baru Apache rentan terjadi manipulasi bahwa dari
segi tujuan maupun potensinya terjadi penggelembungan harga (mark up). TNI
harus menjelaskan kepada masyarakat mengenai persetujuan jual beli senjata
yang dilakukan antara Kementerian Pertahanan Indonesia dan Amerika Serikat
(AS).
"Menteri
Pertahanan dan TNI seharusnya menjelaskan apa pertimbangan melakukan pembelian
helikopter tempur Apache. Selama ini jual beli alat utama sistem persenjataan
(alutsista) sulit diawasi karena tidak ada lembaga independen yang diberikan
akses untuk melakukan penyelidikan, pengawasan dan audit investigatif,"
kata Direktur Program Imparsial, Al Araf di Jakarta, Rabu (28/8). KPK dan TNI
sejauh ini hanya melakukan nota kesepahaman (MoU) yang sifatnya preventif dan
bukan akses secara terbuka menyelidiki apakah telah terjadi penggelembungan
dalam jual beli senjata.
"KPK sejauh
ini tidak bisa masuk karena resistensi di TNI kuat sekali. Presiden dan DPR
juga tidak tertindak serius dalam mewujudkan pengadilan umum bagi
anggota-anggota TNI yang melakukan korupsi atau tindak kriminal," paparnya.
Ia
mempertanyakan apakah pembelian helikopter tempur Apache ini sudah dipikirkan
matang-matang mengingat ancaman yang dihadapi Indonesia bersifat internal.
"Jangan sampai uang APBN yang merupakan hasil pajak dari rakyat digunakan
untuk menyerang rakyat sendiri. TNI seharusnya mereformasi secara serius institusnya,"
ujarnya. TNI sebenarnya lebih membutuhkan pembelian helikopter angkut dibandingkan
helikopter tempur.
Menurutnya,
pembelian helikopter Apache menambah daftar kontroversial pembelian alutsista
TNI setelah pembelian 164 tank Leopard dari Jerman yang tidak cocok bagi Indonesia.
"Jangan sampai muncul pandangan di masyarakat bahwa pembelian senjata ini
jadi proyek oleh pejabat-pejabat Kementerian Pertahanan dan jenderal-jenderal
TNI. Momentum juga tidak tepat karena dunia sedang mengalami krisis global dan
terjadi pelemahan rupiah, ini akan menjadi beban rakyat jika rupiah semakin melemah
dan krisis makin memburuk," paparnya.
John M Miller,
Koordinator Nasional Jaringan Aksi Indonesia dan Timor Timur (ETAN) dan Tim
Advokasi Papua Barat (WPAT) dalam siaran pers kepada SH mengecam keputusan pemerintah
Amerika Serikat (AS) menyetujui penjualan helikopter tempur Apache ke
Indonesia. Penjualan helikopter ini menunjukkan kebijakan AS terhadap keadilan
dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia hanyalah sekadar retorika.
Keberadaan
Apache yang baru dinilai akan memperkuat kemampuan TNI melakukan operasi
"sapu bersih", meningkatkan kemampuan TNI melakukan operasi di
malam hari dan wilayah-wilayah terpencil.
Penjualan helicopter
Apache diumumkan pada kunjungan menteri pertahanan AS Chuck Hagel ke Jakarta
telah mengabaikan pelanggaran hak asasi manusia oleh TNI yang menggunakan
helikopter tersebut sebagai alat persenjataan yang mematikan. Itu merupakan
jenis helikopter tempur yang sering digunakan untukmenumpas para pemberontak.
Operasi ke Papua
TNI terus
melakukan kampanye militer di Papua Barat. Militer melakukan operasi yang
bertujuan menumpas para pemberontak. Dalam kenyataannya operasi militer bertujuan
melakukan represi dan intimidasi pada orang-orang Papua. Operasi tersebut termasuk
melakukan pembunuhan di desa-desa terpencil di Papua Barat, merusak rumah-rumah
penduduk, merusak gereja dan fasilitas-fasilitas publik dan mengusir para penduduk
meninggalkan rumahnya. Serangan TNI ini membuat warga sipil mengungsi ke pegunungan
dan hutan di mana banyak yang meninggal dunia akibat kekurangan makanan, tempat
tinggal dan bantuan kesehatan.
Menteri
Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menyatakan pembelian pesawat ini tidak termasuk
persyaratan penggunaan senjata dalam kondisi tertentu. Penggunaan senjata
oleh TNI sering kali dilakukan tanpa kendali. Para personel TNI tidak
bertanggung jawab pada sistem peradilan sipil ataupun institusi TNI tindak
tunduk pada kebijakan pemerintah sipil dalam hal operasional.
Selama beberapa
dekade TNI telah membangun jaringan bisnis legal dan ilegal yang tidak bisa
dilaporkan dalam anggaran resmi pemerintah. Berbagai regulasi yang dibuat
kurang dipatuhi TNI atau sebagian kecil diterapkan.
Menhan AS Chuck
Hagel mengumumkan persetujuan penjualan delapan helikopter baru Apache jenis
AH-64E dengan nilai US$ 500 juta. AS tidak mempersyaratkan ketentuan khusus
dalam penggunaannya.
ETAN dan WPAT
tahun lalu mengajukan petisi yang ditandatangani 90 organisasi masyarakat
sipil yang mendesak AS tidak menjual pesawat helikopter kepada Indonesia. Kelompok
ini memperingatkan helikopter tersebut dapat meningkatkan konflik di Indonesia,
khususnya para pemberontak di Papua. (Sigit Wibowo), Sumber Koran: Sinar
Harapan (28 Agustus 2013/Rabu, Hal. 03)