Minggu, 28 Juli 2013 | 19:54
Negara-negara di kawasan Asia tiba-tiba serius memperhatikan perkembangan di Indonesia, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengumumkan akan menghabiskan anggaran pertahanan hingga Rp150 triliun antara 2010-2014. Pengamat militer dari Universitas Indonesia (UI), Andi Widjajanto mengatakan, posisi Indonesia yang dipandang remeh dalam isu senjata di Asia, kini mulai berubah.
"Sekarang mereka lihat kalau Indonesia cukup serius. Dan pada akhir 2024, saya kira anggaran kita akan menjadi yang terbesar di ASEAN," katanya.
Selama ini, Malaysia dan Singapura selalu menjadi pemimpin terdepan dalam hal belanja senjata ASEAN. Ketegangan di Laut China Selatan akibat adu klaim teritorial dengan raksasa Asia, China, telah memaksa Filipina dan Vietnam turut mengasah peralatan tempurnya. Vietnam membeli berbagai senjata dari Republik Ceko, Kanada, dan Israel serta kapal selam dari Rusia. Bahkan Vietnam dikabarkan tengah memesan peluru kendali canggih dari India. Sementara Filipina menargetkan pembelian dua kapal penyergap baru, dua helikopter anti kapal selam, tiga kapal cepat patroli pantai, ditambah delapan kendaraan serbu amfibi hingga 2017. Seluruhnya untuk mempertahankan wilayah Laut Filipina Barat yang diperebutkan dengan China.
China sendiri, kata Andi, tak usah ditanya. Setelah memamerkan kegarangan kapal pengangkut sekaligus landasan pesawat (aircraft carrier) Liaoning di perairan Dalian September lalu, China terus menumpuk perbendaharaan alutsista hingga total belanja melampaui USD100 miliar untuk pertama kalinya tahun 2012.
Paradoks ASEAN
Secara keseluruhan, laporan Institut Internasional untuk Strategi Keamanan (IISS) London menyebutkan, besaran belanja senjata di Asia tahun 2013 meningkat 14% lebih dibanding tahun lalu. Sebaliknya, angka belanja senjata di 26 negara Eropa terus turun seiring dengan krisis ekonomi yang belum pulih. Asia tengah mengalami lomba senjata, tulis seorang pengamat dalam jurnal IISS. Peningkatan signifikan angka belanja senjata sudah muncul tahun 2012, dan menurut IISS, belanja alutsista Asia mencapai $287 miliar atau naik kira-kira 8,6% per tahun. “Situasi ini tidak bisa dibilang lumrah,” kata Andi Widjajanto. ASEAN tengah menikmati periode damai, dengan tingkat pendapatan masing-masing negara terus meningkat, dan hubungan antar negara yang makin matang. Bahkan dalam dua tahun, 2015, sebanyak 10 negara di Asia tenggara ini akan memasuki babak baru Komunitas ASEAN.
"Ini sebuah paradoks, ASEAN sangat damai tapi belanja senjata malah naik pesat," kata Andi.
Pencetusnya adalah ketidakpastian di Laut China Selatan yang membuat beberapa negara ASEAN terlibat langsung dalam konflik ini, seperti Filipina dan Vietnam.
"Anggota melihat situasi damai justru sebagai kesempatan untuk untuk mengisi arsenal masing-masing," tambah doktor lulusan Universitas Pertahanan di Washington ini.
Untunglah tak ada ancaman langsung konflik Laut China Selatan terhadap Indonesia. "Indonesia itu negara netral. Sepanjang (konflik) itu tidak menular ke perbatasan kita," kata Menhan Purnomo. Sebaliknya, Indonesia juga memahami ambisi China yang habis-habisan mendongkrak belanja senjatanya. Karena itu, kita dukung penguatan alutsista TNI, agar bisa berbicara di dunia internasional.