UPAYA penyelamatan maupun koleksi produk-produk
militer bersejarah banyak dilakukan di dunia, yang umumnya lebih untuk kepentingan
inventaris museum serta hobi para kolektor. Hal tersebut tampaknya masih
dilakukan di Indonesia, sebagai upaya memperkaya koleksi sejarah bangsa dan
negaranya.
SALAH satu upaya penyelamatan produk militer
bersejarah, adalah upaya rekondisi kendaraan lapis baja pengangkut personel (armoured personel carrier/APC)
BTR-152/Type 56 eks TNI-AL Marinir. Ini dilakukan oleh kolektor sekaligus
penggemar produk-produk kendaraan lawas, Mayor TNI-AU Heri Heryadi, di mana
kendaraan BTR-152/Type 56 itu kini mulai diperbaiki pada bengkel miliknya di Jl
Gunung Batu, Bandung.
Menurut Heri, kendaraan lapis baja dimaksud mulai
diperoleh sekitar dua bulan lalu. Ini dengan menyelamatkan dari total empat
buah unit yang akan dilebur menjadi besi tua oleh seorang pengusaha di Tanjung
Priok Jakarta pada Januari 2013 lalu.
Kendaraan lapis baja angkut pasukan tersebut, sudah
tak terdapat lagi senapan otomatis yang menjadi kelengkapannya. Berdasarkan
ketentuan untuk keperluan sipil, senjatanya sudah harus dicopot terlebih dahulu.
Tak hanya itu, katanya, di lokasi yang sama
juga ada sekitar 20-an unit kendaaran eks militer Indonesia lainnya yang
dilebur. Antara lain truk Zil-157, yang biasa menjadi sarana peluncur roket
Katyusha buatan Uni Soviet sisa zaman Orde Lama lalu.
Disebutkan, jika diperoleh biayanya yang mencukupi,
rekondisi kendaraan lapis baja itu akan dapat selesai selama dua bulan. Soal
suku cadang, masih cukup banyak dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan
untuk kendaraan lain. "Rekondisi kendaraan lapis baja angkut pasukan ini,
lebih berdasarkan keperluan penyelamatan produk militer bernilai sejarah.
Diharapkan, nantinya akan dapat menjadi salah satu koleksi untuk referensi
sejarah produk militer yang pernah digunakan militer Indonesia," ujar
Heri.
Heri juga menunjukan surat keterangan yang dikeluarkan
Bintaldam III/Siliwangi yang ditandatangani Kabalakjarah Mayor TNI-AD IB
Pinatih, kendaraan tersebut dengan nama BTR-56 yang intinya berasal dari produk
yang sudah tak terpakai lagi dan diperoleh dari Tanjung Priok. Nantinya,
kendaraan tersebut akan digunakan untuk keperluan operasional aset sejarah di
Museum Mandala Wangsit Siliwangi Bandung/Komunitas Historia van Bandoeng.
NAMUN berdasarkan pengamatan "PK",
penyebutan APC bersangkutan dengan nama BTR-56 oleh pihak TNI, sebenarnya cukup
membingungkan. Soalnya, jika dirunut berdasarkan
referensi dari keluaran pabriknya, nama BTR-56 belum pernah ada.
Nama produk APC yang dimaksud aslinya bernama BTR-152
buatan Uni Soviet, yang, diproduksi tahun 1950-1962 sebanyak sekitar 15.000 unit,
dan kini masih banyak dioperasikan. Namun ada pula produk tiruannya buatan
Republik Rakyat Cina (RRC) dengan nama Type-56, yang merupakan lisensi dari
aslinya BTR-152A.
Jika dicoba dikaitkan kebiasaan awam di Indonesia,
termasuk sebagian kalangan militer sendiri, boleh jadi BTR-56 yang sedang
direkondisi oleh Mayor Heri Heryadi itu sebenarnya bernama Type 56.
Produk-produk APC maupun senjata api buatan RRC, sempat banyak masuk ke
Indonesia semasa pemerintahan Presiden Soekarno sekitar mulai tahun 1962 menyusul
produk-produk asli buatan Uni Soviet.
Produksi BTR-152 dilakukan Uni Soviet berdasarkan
ilham APC half traek produk SdKfz 251 buatan Nazi Jerman dan M-3 buatan Amerika
pada Perang Dunia II, yang kedua-keduanya pada bagian belakang menggunakan roda
berantai seperti tank. Yang membedakan, BTR-152 didesain sesuai kebutuhan medan
Uni Soviet juga dapat digunakan untuk medan tropis, sehingga bagian belakang
menggunakan ban karet.
Prototipe BTR-152 mulai dilakukan pada tahun 1946
namun secara massal mulai dilakukan tahun 1950, dengan dilakukan menggunakan
chasis truk ZiS-151, Namun produk BTR-152 dikenal luas mulai konflik di Timur
Tengah tahun 1956, karena banyak digunakan pasukan Mesir dan Suriah yang
berperang menghadapi Israel.
BTR-152 maupun Type 56, sama-sama memiliki
kapasitas angkut personel 18 orang, di luar dua awaknya. Lapisan bajanya antara
4 mm sd 15 mm yang berbeda pada setiap bagian, dengan dirancang tahan tembakan peluru
sampai kaliber 12,7 mm baik versi blok NATO 12,7 mm x 99/.5O BMG), maupun versi
Pakta Warsawa dari 12,7 mm x 108.
Armamennya aslinya terdiri sebuah senapan mesin
berat DShK 1938/46 (kaliber I2,7mm x 108, kapasitas 500 butir), yang
ditempatkan pada bagian atas ruang komandan. Juga ada dua buah senapan mesin
serba guna SGMB (7,62mm x 39, kapasitas 1.250-1.750 butir), yang terdapat pada
bagian samping.
Namun dapat pula dipasangi senjata anti serangan udara
ZPU-2 dan ZPU-4 (kaliber 14,5mm). Namun di sejumlah negara yang juga
menggunakan produk NATO, misalnya di Indonesia, BTR-152/Type 56 dapat pula
dipasangai senapan mesin Browning M2HB (i2,7mm x 99), atau kanon Oerlikon 20
mm.
Mesinnya adalah ZiS-123 6 silinder dengan kemampuan
110 tenaga kuda pada 3.000 rpm, namun pada bagian karet engine mounting, terdapat
logo produk Mercedes Benz. BTR-152/Type 56 memiliki kapasitas bahan bakar 300
liter, dengan jarak operasional sampai 650 km dengan kecepatan maksimal 75
km/jam.
Produk BTR-152 juga dibuat pula oleh Jerman Timur
untuk memperkuat Pakta Warsawa pada tahun 1960-an dengan nama SPW-152, yang
oleh pihak NATO dijuluki "Iron Pig". Bedilnya, SPW-152 menggunakan
lagi lempengan baja untuk menutupi celah pada bagian roda belakang, dengan juga
ada versi lain untuk ambulans.
Pengguna BTR-152: Uni Soviet/Rusia, Afghanistan,
Albania, Aljazair, Angola, Bulgaria, China (Type 56), Cyprus, Ethiopia,
Eritrea, Guinea Tengah, Rep. Ceko, Jerman Timur, Mesir, Kamboja (Type 56),
Finlandia, Kongo, Kroasia, Kuba, Guinea, Guinea-Bissau, Indonesia, India,
Hongaria, Iran, Irak, Israel, Libanon, Laos, Mali, Mongolia, Mozambik,
Nikaragua, Korea Utara (BTR-152 dan Type 56), Polandia, Rumania, Seychelles,
Sri Lanka, Sudan, Suriah, Tanzania, Uganda, Vietnam, Yaman, Yugoslavia/Serbia,
dan Zimbabwe (Type 56). (Kodar
Solihat/"PR"), Sumber Koran: Pikiran Rakyat (29 Juli
2013/Senin, Hal 12)