Minggu, 28 Juli 2013 | 19:42
Di saat-saat akhir masa pemerintahanya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencetak prestasi luar biasa di bidang pertahanan. Presiden telah meng alokasikan anggaran militer untuk periode 2010-2014 mencapai Rp 150 triliun. Walau masih kecil, dengan anggaran itu TNI sebagai kebanggaan Indonesia, kini tidak dipandang remeh lagi oleh negara lain. Kita perlu bersyukur atas prestasi ini. Karena setelah nyaris mati suri selama 15 tahun, modernisasi peralatan tempur Indonesia berjalan sangat progresif. Hingga habis masa Pemerintahan Presiden SBY pada 2014, ditargetkan modernisasi sudah mencapai sedikitnya 30% dari kebutuhan minimum TNI.
"Dengan dinamika yang terjadi sekarang, (modernisasi) bisa dipercepat," kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.
Purnomo pun mencontohkan beberapa rencana yang berjalan justru lebih cepat dari target. Pembangunan kekuatan pesawat jet F16 asal Amerika Serikat, misalnya, dari rencana hanya menambah enam pesawat baru, ternyata justru akan direalisasi menjadi 24 pesawat, meski bekas pakai.
"Ini belum, sekarang kita di-offer 10 lagi," tambah Purnomo.
Demikian pula pesawat angkut militer jenis Hercules, yang mulanya belum masuk rencana 2013, karena hanya akan diisi dengan pesawat CN295 buatan Airbus Military dan PT Dirgantara Indonesia (DI). Tetapi kini akan ditambah 10 buah, juga bekas pakai dari Australia. Dengan 34 pesawat F16 dan 10 Hercules ini, Purnomo yakin postur kemampuan tempur TNI akan sangat berubah.
“Ditambah dengan yang sudah kita punya saat ini, kita akan menjadi amat kuat," katanya.
Di darat, TNI juga akan berubah dengan tampilan antara 100-130 unit tank Leopard asal Jerman, yang sudah lama diidamkan TNI-AD. Pengamat militer dan pengajar pada jurusan Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI), Andi Widjajanto mengatakan, klaim Purnomo bukan isapan jempol. "Saya kira percepatan sangat mungkin. Dalam Latihan Gabungan (Latgab) TNI lalu, tampak bahwa kekuatan TNI sudah 40%," puji Andi. Latgab itu dilangsungkan di beberapa titik, termasuk Sangatta di Kaltim dan Situbondo di Jatim. Presiden Yudhoyono sendiri yang melihat langsung jalannya operasi, yang disaksikan pula oleh publik melalui komentarnya dalam situs mikro blog, Twitter.
"Negara kita luas, karenanya kita perlu memiliki kekuatan militer yang handal dan terlatih," kicau Presiden melalui @sbYudhoyono.
Titik Terendah
Buku Putih Pertahanan Indonesia yang terbit 2008 menyebut perlunya membangun kekuatan bersenjata dengan terencana. Target pencapaian minimum essential force (Kekuatan Pertahanan Minimal/ KPM) dirancang tercapai pada 2024. Itu berarti hingga 11 tahun mendatang, Indonesia harus dapat menerima kondisi saat ini, yaitu dengan kekuatan tempur yang bahkan di bawah minimum. Langkah panjang ini menurut Andi perlu untuk mengembalikan TNI sebagai kekuatan bersenjata yang disegani di ASEAN maupun di dalam negeri.
Sejak dibelit krisis moneter tahun 1997, kekuatan ABRI (saat itu) hampir compang-camping. "Ke luar pengaruh kita diambil oleh Malaysia dan Singapura, sedang ke dalam kita terpaksa melepas Timor Timur tahun 1999," tambah Andi. Sebagai kekuatan bersenjata yang menjadikan NKRI harga mati sebagai acuan dasar, lepasnya Timtim, menurut Andi, menandai titik terendah TNI saat itu. "Praktis (pertahanan) kita tak punya daya tawar sama sekali,” katanya. Kekuatan rendah juga sangat merugikan Indonesia secara ekonomi. Dari kasus pencurian ikan di laut perbatasan saja, menurut Kementrian Perikanan menggerogoti potensi pendapatan negara hingga Rp30 triliun per tahun. Harap maklum, sampai 2012 Indonesia baru punya 24 kapal patroli memadai.
"Padahal wilayah maritim kita besar sekali, jadinya kita diremehkan nelayan asing pencuri ikan," kata anggota Komisi Pertahanan DPR, TB Hasanuddin.
Pemerintah SBY kemudian menggenjot angka belanja senjata, yang sampai 2024 diharapkan mencapai titik idealnya, sekitar Rp 170 triliun per tahun atau setara dengan 1,5% dari APBN. Meski nampak sangat besar, secara persentase angka ini masih kalah dari total belanja alutsista Singapura dan Malaysia yang berkisar 2-3% dari total PDB. Meski demikian, menurut Andi Widjajanto, bila diteruskan sesuai rencana, kekuatan pertahanan Indonesia akan menjadi salah satu yang terbesar di Asia.
"KPM 2024 kalau dibandingkan tahun 2000 itu 5-6 kali lipat. Itu pun kita saat itu masih menyebutnya minim, baru mau mulai membangun postur riil," tegasnya.
Tetapi dengan strategi pembelian senjata dari berbagai negara sekaligus, masalah lain muncul: bagaimana TNI memadupadankan penggunaan berbagai senjata itu? Sistem senjata dari satu negara biasanya punya sistem komunikasinya sendiri, kata TB Hasanuddin, yang sebelumnya sempat berkarir di TNI selama 25 tahun.
"Kemarin (di arena Latgab) saya lihat prajurit darat pegang radio untuk pesawat, radio lagi untuk tank, radio untuk lain lagi. Nanti bisa-bisa dia harus bawa 6-7 radio repot sekali," kata Hasanuddin.
Interoperabilitas atau padu-padan sistem operasi bersamaan, memang jadi tantangan, kata Menhan Purnomo Yusgiantoro.
"Tugas Panglima TNI untuk dapat melihat bagaimana alutsista itu dapat terkait satu dengan yang lain," kata Purnomo.
Kemampuan memecahkan persoalan ini menurut pengamat pertahanan CSIS, Iis Gindarsah, akan sangat menentukan masa depan pertahanan Indonesia.
"Karena TNI sedang bergerak menuju rightsizing, merampingkan pasukan sesuai kebutuhan," kata Gigin. "Dengan demikian nantinya pertahanan kita akan lebih banyak diawaki oleh alutsista yang canggih, dengan personel yang lebih sedikit tapi mumpuni."