Selasa, 23 July 2013 | 16:39
Jujur, saya merasa
kasihan dengan Presiden SBY. Walaupun banyak sekali ketidaksetujuan akan
kebijakan dan langkah langkah yang diambilnya, benar atau salah, dia adalah
Presiden saya. Presiden Republik Indonesia.
Bahkan, ucapan
Presiden SBY kemarin tentang kecamannya terhadap FPI seakan akan malah jadi
bulan bulanan di media massa. Saat Beliau ingin berkata tegas pun tidak
diindahkan. Secara terang terangan. Mulai dari Habib Rizieq, selaku pihak dari
FPI bahkan sampai dengan jajaran Menterinya sendiri, salah satunya adalah
Gamawan Fauzi. Miris .
Kembali pada
FPI. Banyak yang beranggapan bahwa sudah seharusnya FPI dibubarkan. Maaf, saya bukan salah satunya. Selama Ormas
Islam seperti NU atau Muhammadiyah masih saja berusaha lenggang kangkung dengan
permasalahan diatas saja tanpa ada yang
benar benar mau terjun ke bawah seperti FPI, maka tidak akan ada gunanya
membubarkan FPI. Dia akan tetap ada.
Banyak orang yang
menginginkan kehidupan yang lebih baik. Banyak yang ingin merasakan aman dan
tentram. Namun hanya sedikit yang benar benar ikut turun berusaha memperbaiki
keadaan. ”Niatnya baik, caranya salah ya
jadinya salah”. Itu yang banyak didengar.
Tapi cara salah masih bisa menjadi benar apabila diperbaiki. Namun niat
sudah ada disana duluan.
Tidak hanya sekedar
mengeluh atau bertanya kapan Pemerintah mau ambil tindakan tentang suatu
permasalahan .
FPI pun dibanyak
kejadian terbukti melanggar HAM, mencederai kebebasan agama dan bahkan
diindikasi menjadi beking dari tempat tempat hiburan malam yang ‘tidak’
disweepingnya. Masyarakat yang menilai,
kok yang kecil kecil di sweeping sementara yang besar besar tidak? Pasti ada
‘fulus’ ya dibaliknya? Seperti halnya
contoh kasus ‘pemerasan’ yang diungkap saat peristiwa Playboy yang lalu.
Erwin Arnada,
pemred majalah Playboy pada waktu itu mengaku telah di’peras’ oleh FPI. Dan seperti kita ketahui bersama, ketidak
sukaan kita kepada FPI langsung menghujat sana sini. Dapet bahan, istilahnya. Saya
menganggap pada waktu itu kurang lebih seperti ini ” Biarin aja dipalakin. Toh pemred majalah selakangan ini? Ngapain
dipikirin? Occupational Hazard lah, alias resiko pekerjaan. Sama dengan sikap saya melihat FPI sweeping
warung yang menjual minuman keras pada bulan Ramadhan, lokalisasi pelacuran dan
tempat yang buka di bulan Ramadhan.
Tidak akan terjebak
dengan ‘romantisme nanti bagaimana yang kerja disana’. Bagaimana mereka akan
mencari uang dibulan Ramadhan ini? Rata
rata tempat hiburan malam mempunyai margin keuntungan yang cukup besar untuk
tetap ’survive’ walaupun harus tutup selama satu bulan penuh. Jadi tidak perlu
hanya melihat disisi uang saja. Ini fakta.
Lihat juga disisi
yang lainnya, selama satu bulan itu, FPI telah membantu mencegah para lelaki
yang mungkin adik, teman, kakak, bapak atau suami anda ‘jajan’ ke lokalisasi.
Minum minuman keras murahan yang pada akhirnya bikin tawuran , kecelakaaan
lalulintas atau paling fatal kekerasan dalam rumah tangga. Gebukin bini sendiri
gara gara mabok. Atau bahkan resiko
kebutaan karena minuman oplosan yang sangat membahayakan ini.
FPI selama satu
bulan itu sudah membantu meminimalisir resiko penularan penyakit menular
melalui hubungan seksual. Untuk kedua pihak. Baik dari pekerja seks komersialnya
sendiri, ataupun mungkin pelanggannya.
Tidak bicara
tentang amalan, dosa dan perbuatan ya? Karena saya sangsi kebanyakan dari kita
masih betul betul mengenal konsep ini, dengan segala ketidak acuhan kita
terhadap apa yang terjadi di sekitar kita.
Sisi buruknya FPI ?
Banyak banget. Belum lama ini
dicontohkan oleh Munarman. Menyiram air teh ke Thamrin Tomagola didepan
umum. Sama sama provokator sih
sebetulnya keduanya. Sayang Munarman kalah ‘pinter’ dengan tindakan yang tidak
perlu itu. Malah jadinya Thamrin Tomagola yang dapet simpati.
Kejadian ini contoh
kecil yang bisa dijadikan contoh besar apa tindakan FPI terhadap
kemaksiatan. Cara yang salah menjadikan
rakyat Indonesia yang kebanyakan menyukai drama ini menjadi tidak simpati atas
tindakannya.
Belum lagi sweeping
warung makan siang hari sambil banting banting piring segala. Bulan Ramadhan
lagi. Drama banget. Ngapain orang puasa
minta dihormatin? Biasa aja lah.
Kadang, karena tau
sedang disorot media membuat sebagian besar dari mereka jadi tambah urakan.
” Masuk tipi, masuk
tipi” dan akhirnya minta perhatian.
Jelas gak setuju dengan ini.
Habib Mahmud Al
Hamid, salah seorang tokoh agama di Makassar pun pernah berucap kepada saya,
bahwa kadang memang kejadian seperti itu di lapangan memang memprihatinkan. Dan
perlu adanya perbaikan sikap dan cara approach dari FPI sendiri, namun tidak
menghilangkan ketegasan sama sekali.
Belum lagi isu
beking, calo hiburan dan lain hal. Padahal kalo mau jujur, HIPMI pun sekarang
banyak calonya atau bisa dibilang Himpunan Pengusaha Calo Indonesia, bukan Muda
lagi. Tapi karena lebih elit, lebih rapi, ya tidak seperti FPI yang ‘jelas
jelas terlihat’.
Balik lagi ke
masalah lokalisasi. Ada yang bolak balik mengatakan, itu lokalisasi yang paling
deket dengan markas FPI aja gak pernah di sweeping. Nah, pertanyaan yang bagus
kan?
Kalau ngajak FPI
untuk sweeping daerah Mangga Dua dan lainnya, ya jelas gak mungkin lah. Realistis aja jangan pada pura pura enggak
ngerti begitu. Kok malah jadi nyalahin
FPI kenapa tempat hiburan malam ‘berkelas’ tidak disweeping? Tanya dong sama
Polri, atau TNI kenapa tempat tempat itu tidak disentuh sama sekali.
Kenapa FPI tidak
bisa ditindak tegas oleh Polri ataupun TNI ? Ya tanya lagi ke mereka bertiga.
Ada deal apa yang sebetulnya terjadi, supaya tidak pada gemas sendiri
kenapa Polri tidak pernah secara nyata
mengambil tindakan tegas terhadap FPI.
Kasihan Pak SBY.