Sejak Juni 2013, Presiden SBY sudah mengetahui informasi adanya penyadapan terhadap dirinya yang diduga dilakukan agen intelijen Inggris saat menghadiri pertemuan G-20 di London, Inggris, 2009.
"SEJAK Juni sudah ada infor¬masi bahwa ada negera tertentu yang melakukan tindak penyada¬pan," kata Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Seperti diberitakan Sydney Morning Herald, Perdana Men¬teri Australia Kevin Rudd mem¬peroleh keuntungan atas kegiatan mata-mata itu. Disebutkan, dele¬gasi Australia mendapatkan du¬kungan informasi intelijen dari Inggris dan Amerika Serikat.
Teuku Faizasyah selanjutnya mengatakan, insiden Snowden yang belum tuntas masalah sua¬kanya, menjadi titik awal mun¬culnya informasi penyadapan satu negara ke negara lain.
Hasil penyadapan itu kabarnya digunakan untuk mendukung tujuan diplomatik Australia, termasuk dukungan untuk memenangkan kursi di Dewan Keamanan PBB.
"Kita memiliki posisi yang je¬las mengenai hal ini. Negara ma¬na yang kita pilih, negara mana yang kita dukung. Tanpa harus disadap pun komunikasi bisa di¬lakukan dengan jalur normal," papar bekas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri itu.
Berikut kutipan selengkapnya:
Bagaimana tanggapan Istana terkait dugaan penyadapan ini?
Kami sangat menyesalkan apa¬bila memang benar terjadi pe¬nyadapan terhadap Presiden. Tin¬dak penyadapan tentu bukan suatu hubungan yang baik dalam hubu¬ngan antar negara. Jika benar, pe¬nyadapan tersebut merupakan tin¬dakan tidak etis karena informasi harus didapatkan melalui cara-cara wajar seperti komunikasi langsung, surat, dan lainnya.
Tindakan apa yang sudah diambil?
Kami tidak bisa tergesa-gesa di dalam kasus ini. Kami tentu me¬lihat sejauhmana informasi yang disadap. Harus dikaji kembali derajat kebocoran, apakah itu esensi media Australia, katakan tentang pencalonan di Dewan Keamanan PBB. Pemerintah pasti akan menindaklanjuti sejauhmana kerugian yang didapatkan atas kebocoran informasi saat mela¬kukan pertemuan G-20 tahun 2009 di London, Inggris itu.
Kenapa tidak segera ber¬tindak?
Kami harus tahu dulu seberapa valid sumber-sumbernya. Masa¬lahnya kan sumber-sumber berita mereka tidak mau disebutkan namanya. Artinya media memiliki kepentingan untuk melindungi sumber tersebut. Mengetahui si¬nyalemen dari media itu kan belum tentu benar-benar terjadi. Makanya kami tidak mau terburu-buru. Sebab, kalau terburu-buru seakan kami melakukan justifikasi. Ingat, sulit untuk membuktikan kebena¬ran informasi itu kecuali pihak penyadap memberikan konfirmasi.
Apa BIN sudah merespons kasus ini?
Tentu saja sudah. Intelijen In¬donesia tentu sedang menelusuri apa saja kerugian kita atas penyadapan Presiden seperti dimuat oleh media Australia. Mereka mencari tahu melalui mitranya meskipun sulit un¬tuk mendapat pengakuan dari ne¬gara yang diduga melakukan pe¬nyadapan. Intelijen kita juga kan sering melakukan kerja sama de¬ngan intelijen dari berbagai negara untuk menangani berbagai kasus.
Apa pihak Istana sudah men¬dapatkan laporan dari BIN mengenai kasus ini?
Belum. Masalahnya kan Inte¬lijen itu memiliki cara komuni¬kasinya bersifat rahasia. Meka¬nismenya nanti kita lihat saja secara tertutup melalui dinas inte¬lijen kedua negara.
Kita juga sering bertukar infor¬masi, hal yang menjadi kepen¬tingan bersama, seperti terorisme.
Hubungan Indonesia dengan Australia dan Amerika Serikat bagaimana?
Sangat baik. Indonesia terus menjalin kemitraan dengan ke¬dua negara itu. Tidak ada konflik tertentu yang bisa dijadikan sinyalemen terjadinya penya¬dapan ini. Kami tidak mau ter¬buru-buru.
Untuk menghindari kasus seperti ini, apa yang dilakukan?
Kami melihat masalah penge¬lolaan informasi menjadi sema¬kin penting. Tentunya ke depan terus meningkatkan pengamanan informasi. (nda), Sumber Koran: Rakyat Merdeka (30 Juli 2013/Selasa, Hal. 02)