PEMERINTAH terus melakukan peningkatan alat utama sistem persenjataan sejak 2010 lalu. Dana untuk peremajaan alutsista tersebut dianggarkan lebih dari Rp150 triliun hingga 2014 nanti.
Namun, program pening¬katan kekuatan TNI tersebut belum melegakan banyak pihak. Rencana pengadaan alutsista kian menjadi sorotan publik terkait penegakan prinsip transparansi dan akuntabilitas dana publik.
Untuk itulah wartawan Media Indonesia Akhmad Mustain mewawancarai Kepala Pusat Komunikasi Kementerian Pertahanan Briga¬dir Jenderal TNI Sisriadi di Jakarta, kemarin, untuk mengetahui bagaimana proses penganggaran alutsis¬ta yang dilakukan selama ini. Meskipun alutsista tersebut akan digunakan TNI, kuasa anggaran untuk alutsista di¬kelola Kemenhan. Berikut petikannya.
Penggunaan anggaran alut¬sista minim transparansi?
Akuntabilitas penggunaan anggaran di Kemenhan saya rasa sudah berjalan. Proses pengawasan cukup ketat, de¬ngan kementerian keuangan, BPK, dan DPR. Bahkan, kalau menurut saya, tidak ada celah untuk melakukan niat buruk, penyimpangan anggaran.
Saya tidak mengerti, kenapa TII (Transparency International Indonesia) merilis bahwa pengawasan anggaran alutsista di Indonesia dinilai negatif. Namun, saya pelajari rilis TII Inggris, ternyata tidak meminta pendapat DPR dan pemerintah, tidak pernah disurvei. Survei itu hanya berdasarkan opini LSM.
Ketat pengawasan seperti apa?
Dalam pengadaan alutsista dikenal pendekatan bottom-up dan top-down. TNI masing-masing matra membuat rumusan kebutuhan operasi, kemudian diajukan ke Kemenhan, tentu dengan nilai anggarannya. Ketika Menhan setuju, angkatan mengajukan spesifikasi teknis, dari situlah perusahaan, kalau dalam ne¬geri ada, tentu langsung dari pabrikan dalam negeri.
Proses pengadaan dilakukan oleh tim gabungan antara Kemenhan dan angkatan. Jika penyedia alustista sudah ada, kemudian dilakukan perumusan kontrak, negosiasi yang dilakukan bersama dengan Bappenas, Kemenhan, dan Kemenkeu. Tiga kementerian itu ikut aktif dalam peru¬musan kontrak, negosiasi, dan untuk check and balances.
Setelah proses itu semua sepakat, kontrak ditandatangani, artinya kontrak dilaksanakan kedua belah pihak, namun belum bisa bayar. Harus ada persetujuan, pencabutan tanda bintang oleh DPR. Dilakukan pengecekan dari aspek keuangan, prioritas penggunaan.
Jika DPR tuntas, baru bisa dilakukan pembayaran. Arti¬nya pengawasan itu berlapis, internal pemerintah, antar kementerian, dan peng¬awasan DPR.
Bukankah banyak kasus penggelapan anggaran, karena kongkalikong DPR dan Kementerian?
Kita terus berupaya untuk membangun kepercayaan kepada publik. Bahwa anggaran dari APBN harus dipertang¬gungjawabkan kepada publik, terus kami pegang teguh. Pada prinsipnya kita akan melakukan akuntabilitas peng¬gunaan anggaran.
Jika ada penganggaran yang tidak dibuka, mungkin karena kesepakatan antara penyedia barang dan Kemenhan sebagai pembeli. Pihak penyedia alutsista terkadang tidak mau spesifikasi dan harga sampai bocor ke pihak ketiga. Karena mereka bisa saja dituntut pembeli sebelum Indonesia, jika harga yang diberikan ke-pada Indonesia lebih murah.
Misalkan, kita membeli Apache, dengan harga sekitar US$40 juta per unit, sekarang yang sudah efektif. Namun, sebelumnya Taiwan membeli barang sama 20 unit, US$2,4 miliar paket dengan pelatihan. Atau sekitar US$80 juta per unit. Namun, kita tidak bisa mengatakan, kita dapat harga murah, karena detailnya kita tidak tahu yang diberikan kepada Taiwan.
Bisakah KPK ikut masuk?
Pandangan saya, kalau KPK untuk masuk bisa dilakukan, ada celah dari aturan perun¬dangan, UU Militer, agar KPK bisa mengawasi.
Misalkan, kalau tertangkap tangan bisa dilakukan KPK, meskipun proses selanjutnya minta kepada TNI, Kemenhan dan TNI untuk mitra penyidikan. Selain itu, KPK bisa meminta penyidik TNI untuk diperbantukan mengawasi proses pengadaan alutsista.
Sudah adakah kerja sama dengan KPK?
Kemenhan akan secara terbuka memberikan informasi terkait anggaran dalam pengadaan alutsista bahkan siap diperiksa baik oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan KPK. (P-4), Sumber Koran: Media Indonesia (24 September 2013/Selasa, Hal. 03)