Selasa , 24 Sep
2013 14:28 WIB
Skalanews - Paguyuban
Petani Jawa Timur (PAPAN Jati) mempersoalkan keseriusan pemerintah untuk
menyelesaikan sengketa pertanahan khususnya tanah petani di Indonesia, terutama
di Jatim.
Karena dalam
penanganan kasus tanah petani, pemerintah dianggap selalu berusaha membenturkan
petani dengan aparat keamanan seperti TNI atau kepolisian.
Dari data PAPAN
Jati, tercatat ada 100 konflik tanah yang melibatkan ribuan petani di pedesaan yang berhadapan dengan perusahaan
perkebunan, baik swasta maupun negara, dan penguasa militer dan Perhutani.
"Akibatnya
petani resah dan mengalami takut kalau dibenturkan oleh instansi-instansi
tersebut," kata juru bicara PAPAN Jati, Eko Suryono, saat dikonfirmasi
wartawan, Selasa (24/9).
Dia juga
menyayangkan sikap Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga negara yang
mengurusi pertanahan yang terkesan tertutup dan malah berpihak. "Mereka
sering menerbitkan data kepemilikan perusahaan perkebunan yang palsu dan
memanipuliasi bukti penguasaan tanah."
Atas fakta-fakta
itu, Papan Jati mengeluarkan beberapa tuntutan.
Yakni tolak
segala bentuk tindakan kekerasan terhadap petani. Seperti kasus-kasus kekerasan
yang terjadi di Indramayu. Serta teror/intimidasi terhadap sejumlah petani di
Jatim seperti kasus Wongsorejo, Banyuwangi.
Reformasi
birokrasi pertanahan yang tidak memihak
kepada kaum tani.
Kata Eko,
pihaknya juga menuntut pengembalian tanah rakyat yang dirampas perusahaan
perkebunan, TNI/militer, Perhutani.
"Seperti di
kasus tanah Sukorejo, Buduran Sidoarjo (vs. TNI AD), kasus tanah Grati, Lekok,
Nguling, Pasuruan (vs. TNI AL), kasus tanah Pandanwangi, Lumajang (vs. TNI AD)-
Kasus tanah Pojok, Ponggok, Blitar (TNI AU), Kasus tanah Ngrangkah Sepawon,
Kediri (vs. PTPN XII), Kasus tanah Satak, Kediri (vs. PTPN XII), Kasus tanah
Wongsorejo, Banyuwangi vs. PT Wongsorejo),Kasus tanah Kalibakar, Dampit,
Simojayan, Kab. Malang vs. PTPN XII)."
Mereka juga
menuntut segera dilaksanakannya Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun
1960). Serta mengembalikan fungsi tanah untuk kepentingan sosial dan menolak
pertambangan yang merugikan masyarakat.
"Seperti
dalam kasus pertambangan emas di Tumpang Pitu, Pancar, Banyuwangi."
Juga tuntutan
untuk menghentikan segala perpanjangan sertifikat hak, utamanya Hak Guna Usaha
di areal konflik tanah perkebunan di Jawa Timur. "Perpanjangan HGU
misalnya, akan memungkinkan terjadi banjir darah."
Ditambahkan Eko,
pihaknya juga meminta dikembalikannya tanah-tanah yang dirampas agar bisa
digarap menjadi lahan garapan masyarakat petani." (Wahyu/ mvw)