Masalah bendera
dan lambang Aceh harus dipecahkan dengan kepala dingin dan kearifan. Jangan
sampai, hanya karena 'bendera dan lambang', Aceh kembali terjerembab ke dalam
arena konflik yang penuh luka. Ada dua pandangan yang mencuat soal bendera dan
lambang Aceh itu.
Pertama,
pandangan yang kontra, yakni bahwa Qanun No. 3/2013 tentang Bendera dan
Lambang Provinsi Aceh, didesain identik dengan bendera GAM. Karena itu
masyarakat khawatir menjadi awal munculnya konflik seperti yang pernah
dirasakan. Qanun lambang bendera yang telah disahkan tersebut menyalahi aturan
PP Nomor 77/2007 Pasal 6 ayat 4 yang menjelaskan bahwa lambang bendera Aceh
tersebut berbau separatis. Pascapengesahan qanun No. 3/2013 oleh DPR Aceh, kondisi
sebagian wilayah Aceh tidak kondusif karena masyarakat sipil masih trauma
dengan konflik sebelum ditandatanganinya perjanjian damai.
Kedua, pandangan
yang pro dengan alasan bahwa Bendera Bulan Bintang sejak 1945 sudah ada. Aceh,
telah berjasa dalam mempertahankan Indonesia pada masa penjajahan Belanda.
Bendera baru
yang ditetapkan DPR Aceh, dianggap menjadi persoalan karena 'menyerupai',
(bahkan 'sama persis') dengan bendera milik GAM yang notabene adalah gerakan
separatis. Masyarakat Aceh tidak ingin lagi punya masalah dan konflik. Oleh
karena itu, diharapkan polemik bendera bisa diselesaikan.
Kesepakatan
Helsinki yang mengakhiri darurat militer di Aceh sudah memberikan garis batas
tegas. Perjanjian yang memutus perseteruan antara Indonesia dan GAM itu
mensyaratkan dalam salah satu pasalnya bahwa lambang dan seragam GAM tak boleh
lagi dipakai meskipun pemerintah daerah Aceh juga punya hak membuat bendera dan
lambang. (Farel Kuto, Perum Puri Mas Sawangan — Depok), Sumber Koran: Suara
Pembaruan (12 Agustus 2013/Senin, Hal. 11)