Kamis, 29 Agustus 2013

Pembelian Helikopter Apache Rentan Dimanipulasi



JAKARTA - Pembelian de­lapan helikopter baru Apache rentan terjadi manipulasi bahwa dari segi tujuan maupun potensinya terjadi penggelem­bungan harga (mark up). TNI harus menjelaskan kepada ma­syarakat mengenai persetujuan jual beli senjata yang dilaku­kan antara Kementerian Perta­hanan Indonesia dan Amerika Serikat (AS).

"Menteri Pertahanan dan TNI seharusnya menjelaskan apa pertimbangan melakukan pembelian helikopter tempur Apache. Selama ini jual beli alat utama sistem persenjataan (alutsista) sulit diawasi karena tidak ada lembaga independen yang diberikan akses untuk melakukan penyelidikan, peng­awasan dan audit investigatif," kata Direktur Program Imparsial, Al Araf di Jakarta, Rabu (28/8). KPK dan TNI sejauh ini hanya melakukan nota kesepa­haman (MoU) yang sifatnya preventif dan bukan akses secara terbuka menyelidiki apakah telah terjadi penggelembungan dalam jual beli senjata.

"KPK sejauh ini tidak bisa ma­suk karena resistensi di TNI kuat sekali. Presiden dan DPR juga ti­dak tertindak serius dalam me­wujudkan pengadilan umum bagi anggota-anggota TNI yang melakukan korupsi atau tindak kriminal," paparnya.

Ia mempertanyakan apakah pembelian helikopter tempur Apache ini sudah dipikirkan matang-matang mengingat an­caman yang dihadapi Indone­sia bersifat internal. "Jangan sampai uang APBN yang meru­pakan hasil pajak dari rakyat digunakan untuk menyerang rakyat sendiri. TNI seharusnya mereformasi secara serius institusnya," ujarnya. TNI sebenar­nya lebih membutuhkan pem­belian helikopter angkut diban­dingkan helikopter tempur.

Menurutnya, pembelian helikopter Apache menambah daftar kontroversial pembelian alutsista TNI setelah pembelian 164 tank Leopard dari Jerman yang tidak cocok bagi Indo­nesia. "Jangan sampai mun­cul pandangan di masyarakat bahwa pembelian senjata ini jadi proyek oleh pejabat-pejabat Kementerian Pertahanan dan jenderal-jenderal TNI. Momentum juga tidak tepat karena dunia sedang mengalami krisis global dan terjadi pelemahan rupiah, ini akan menjadi beban rakyat jika rupiah semakin me­lemah dan krisis makin mem­buruk," paparnya.

John M Miller, Koordinator Nasional Jaringan Aksi Indo­nesia dan Timor Timur (ETAN) dan Tim Advokasi Papua Barat (WPAT) dalam siaran pers kepada SH mengecam keputusan peme­rintah Amerika Serikat (AS) me­nyetujui penjualan helikopter tempur Apache ke Indonesia. Penjualan helikopter ini menun­jukkan kebijakan AS terhadap keadilan dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia ha­nyalah sekadar retorika.

Keberadaan Apache yang baru dinilai akan memperkuat kemampuan TNI melakukan operasi "sapu bersih", mening­katkan kemampuan TNI mela­kukan operasi di malam hari dan wilayah-wilayah terpencil.

Penjualan helicopter Apache diumumkan pada kun­jungan menteri pertahanan AS Chuck Hagel ke Jakarta telah mengabaikan pelanggaran hak asasi manusia oleh TNI yang menggunakan helikopter ter­sebut sebagai alat persenjataan yang mematikan. Itu merupa­kan jenis helikopter tempur yang sering digunakan untukmenumpas para pemberontak.

Operasi ke Papua

TNI terus melakukan kam­panye militer di Papua Barat. Militer melakukan operasi yang bertujuan menumpas para pemberontak. Dalam ke­nyataannya operasi militer ber­tujuan melakukan represi dan intimidasi pada orang-orang Papua. Operasi tersebut terma­suk melakukan pembunuhan di desa-desa terpencil di Papua Barat, merusak rumah-rumah penduduk, merusak gereja dan fasilitas-fasilitas publik dan mengusir para pendu­duk meninggalkan rumahnya. Serangan TNI ini membuat warga sipil mengungsi ke pe­gunungan dan hutan di mana banyak yang meninggal dunia akibat kekurangan makanan, tempat tinggal dan bantuan ke­sehatan.

Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menyatakan pembelian pesawat ini tidak termasuk persyaratan penggu­naan senjata dalam kondisi ter­tentu. Penggunaan senjata oleh TNI sering kali dilakukan tanpa kendali. Para personel TNI ti­dak bertanggung jawab pada sistem peradilan sipil ataupun institusi TNI tindak tunduk pada kebijakan pemerintah sipil dalam hal operasional.

Selama beberapa dekade TNI telah membangun jaringan bisnis legal dan ilegal yang ti­dak bisa dilaporkan dalam anggaran resmi pemerintah. Berbagai regulasi yang dibuat kurang dipatuhi TNI atau seba­gian kecil diterapkan.

Menhan AS Chuck Hagel mengumumkan persetujuan penjualan delapan helikopter baru Apache jenis AH-64E de­ngan nilai US$ 500 juta. AS tidak mempersyaratkan ke­tentuan khusus dalam penggu­naannya.

ETAN dan WPAT tahun lalu mengajukan petisi yang ditan­datangani 90 organisasi ma­syarakat sipil yang mendesak AS tidak menjual pesawat he­likopter kepada Indonesia. Ke­lompok ini memperingatkan helikopter tersebut dapat meningkatkan konflik di Indone­sia, khususnya para pemberon­tak di Papua. (Sigit Wibowo), Sumber Koran: Sinar Harapan (28 Agustus 2013/Rabu, Hal. 03)