Rabu, 28 Agustus 2013

Tantangan Panglima Baru_Netralitas TNI Sulit Diimplementasikan



Jakarta,   Selangkah lagi, Jenderal TNI Moeldoko resmi menjadi Panglima Tentara Nasional Indonesia setelah DPR menyetujui pengangkatan calon Panglima TNI pada sidang paripurna, Selasa (27/8). Jenderal TNI Moeldoko menggantikan Laksamana TNI Agus Suhartono yang akan memasuki masa pensiun.

Sejumlah persoalan akan menjadi tantangan yang tidak mudah bagi Panglima TNI yang baru. Namun, yang paling mendesak ialah netrali­tas TNI. Panglima TNI harus benar-benar menunjukkan komitmennya kepada rakyat Indonesia soal ini.

Terlebih, pelaksanaan pesta de­mokrasi tahun 2014 sudah di de­pan mata. "Dalam konteks ini, seluruh rakyat Indonesia menunggu jan­ji dan komitmen Panglima TNI yang baru untuk menjunjung tinggi ne­tralitas TNI," kata pengamat militer Ikrar Nusa Bakti, saat dihubungi Pelita, di Jakarta, Selasa (27/8).

Pernyataan Ikrar untuk meres­pons persetujuan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Moeldoko men­jadi Panglima TNI menggan­tikan Laksamana TNI Agus Suhartono yang segera memasuki masa pensi­un, kemarin.

Ikrar mengatakan, secara teori bisa saja Panglima TNI berkomit­men menjun­jung tinggi ne­tralitas TNI. Namun, se­cara praktik di lapangan ter­jadi tindakan-tinda­kan yang mengerah­kan anggota TNI terkait dengan suk­sesi
kepemimpinan. "Misalnya saja terkait penggelembungan suara atau pengerahan massa untuk calon ter­tentu yang memiliki akseptabilitas tinggi terhadap TNI," katanya.

Masalah lapangan ini juga dikeluh­kan anggota Komisi I Tjahjo Kumolo, dalam uji kelayakan dan kepa­tutan, sebe­lumnya. Tjah­jo menyatakan, pernyataan Moeldo­ko bisa berbeda dengan apa yang ter­jadi di level bawah. Aparatur TNI di tingkat desa dirasakan Tjahjo tidak bertindak ne­tral terhadap semua kekuatan poli­tik. "Ini pengalaman kami dalam pe­milu sebelumnya," katanya.

Hal lain, kata Ikrar, yang menjadi perhatian serius Panglima TNI yang baru adalah profesional TNI, selain itu, tidak melihat perta­hanan Indonesia dari sisi pertahanan darat saja. "Indonesia ini bu­kanlah negara daratan, tapi negara kepulauan. Karena itu perso­alan pertahanan juga harus mencakup masalah kepulauan, termasuk juga persoalan kedirgantaraan," katanya.

Lebih lanjut, Ikrar mengatakan, "masalah HAM juga menjadi perso­alan yang har­us diperhatikan Panglima TNI. Di samping itu juga terkait dengan peningkatan SDM dan penguatan alutsista TNI. Ne­tralitas juga ditekankan oleh politi­si PPP Syaifullah Tamliha. "Pangli­ma TNI juga harus mampu menga­wal Pemilu 2014 benar-benar jurdil dan luber," kata Syaifullah.

"Tak kalah penting, Panglima TNI harus membangun kekuatan perang, dengan standar minimal kekuataan militer yang mengandal­kan industri pertahanan dalam ne­geri," tegas Syaifullah.

Anggota Komisi I DPR Marsdya (Purn) M Basri Sidehabi menekan­kan pentingnya Panglima TNI menuntaskan operasi militer selain perang (OMSP). Di sini, ada 14 item OMSP TNI yang masih abu-abu. "Butuh penjelasan detail kapan TNI bisa bertindak di luar tugas utama­nya," kata Basri.

Soal penanggulangan terorisme, TNI masih bimbang membantu kepolisan. "Sekarang TNI diam saja, padahal polisi dan rakyat sudah menjadi korban teroris. (Peran TNI) belum clear," ujar politisi Partai Gol­kar ini.

Soal netralitas, kemba­li ditekankan Moeldoko dalam sidang Paripur­na DPR. "TNI harus netral, karena kalau tidak netral akan mencederai de­mokrasi," katanya. Ini kedua kali­nya alumnus Akmil 1981 itu   menegaskan soal ne­trali­tas, setelah sebelumnya ditegaskan saat.

Moeldoko berjanji seluruh praju­rit TNI bersikap netral dalam Pe­milu 2014. "Masyarakat tidak per­lu khawatir terhadap netralitas TNI sebagai garda depan dalam perta­hanan dan keamanan Negara," kata­nya. (ay/cr-14), Sumber Koran: Pelita (28 Agustus 2013/Rabu, Hal. 01)