Jumat, 23 Agustus 2013

Simbol Separatis dalam Bendera Daerah



Bendera Aceh yang mirip bendera GAM masih berkibar di Aceh. Berdalih belum ada pepres pembatalan qanun. Buntut sikap pemerintah yang tidak tegas?

Zainuddin, 40 tahun, warga Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Nanggroe Aceh Da­russalam, terlihat pucat begitu ditanya seputar bendera Aceh. Sebagai warga asli Aceh, ia mengaku ter­besit niat untuk mengibarkan bendera Aceh. Namun ia takut kesandung masalah dengan aparat TNI dan polisi. "Maunya mengibarkan bendera bintang bulan (bendera Aceh), tapi khawatir dilarang aparat," kata Zainuddin kepada Gatra, Jumat pekan lalu.

Larangan mengibarkan bendera Aceh muncul setelah ada gejolak pro-kontra soal bendera Aceh. Larangan ini merupakan hasil kesepakatan ber­sama pemerintah pusat dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh dan disosialisasikan sejak akhir Juli lalu. Namun, dari pantauan Gatra, di beberapa wilayah masih ditemukan bendera Aceh yang berkibar, antara lain di sejumlah kawasan di sepanjang lintas timur Aceh.

Pengibaran bendera Aceh itu dila­kukan warga untuk memperingati delapan tahun penandatanganan nota kesepakatan (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki. "Beginilah kalau rakyat meng­inginkan dan pusat juga tidak tegas. Pelarangan tak berlaku lagi," kata Irwansyah, seorang warga Kabupaten Bireuen.

Polemik soal bendera Aceh ini berawal pasca-disahkannya Qanun No­mor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan
Lambang Aceh oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), 23 April lalu. Qanun ini didasari MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA). Dalam dua beleid itu disebutkan bahwa Aceh berhak menggunakan simbol-simbol kedaerahan, termasuk lambang dan bendera.

Merujuk pada qanun itu, bendera Aceh merupakan bendera dengan warna dominasi merah, diselingi garis putih dan hitam. Yang mencolok, di bagian tengah bendera terpampang gambar bintang bulan warna putih. Karena itu, masyarakat Aceh menyebut bendera ini dengan bendera bintang bulan. Desain bendera Aceh ini sama persis dengan bendera GAM.
Kemiripan 100% bendera Aceh dengan bendera GAM itu membuat berang pemerintah pusat. Hanya selang beberapa hari setelah pengesahan qanun itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi, mengirim surat klarifikasi kepada Gubernur Aceh. Isi surat itu menyebutkan, intinya Jakarta keberatan dengan qanun tersebut. Misalnya Pasal 4 yang memuat desain bendera Aceh.

Menurut pemerintah pusat, desain itu sama persis dengan bendera GAM. Padahal, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah mengatur bahwa desain bendera daerah tidak boleh memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya de­ngan desain gerakan separatis dalam NKRI (Pasal 6 ayat 4). Selanjutnya, dalam penjelasan pasalnya disebut, bendera bulan sabit merupakan bendera yang digunakan gerakan separatis di Provinsi Aceh.

Merasa tak cukup dengan mengirim surat klarifikasi, Presiden Susilo Sam­bang Yudhoyono (SBY) memanggil Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, untuk menghadapnya. Pada 17 April, Gubernur Zaini didampingi Pemangku Wali Nanggroe, Malik Mahmud Al-Haytar, bertandang ke Jakarta. Dalam pertemuan itu, SBY meminta Gubernur Zaini mengubah bendera Aceh atau setidaknya dilakukan modifikasi agar tidak mirip dengan bendera GAM.
Menjelang peringatan kesepakatan Helsinki, 15 Agustus, dan peringatan kemerdekaan RI, 17 Agustus, polemik tentang bendera Aceh ini makin me­manas. Pada 29 Juli, Pangdam Iskandar Muda, Mayor Jenderal Zahari Siregar, menyerukan larangan pengibaran bendera Aceh. Kata Zahari, hanya boleh satu bendera yang dikibarkan, yakni bendera Merah-Putih. "Tidak boleh ada berkibar bendera selain Merah-Putih di Aceh," katanya.

Menindaklanjuti seruan pangdam tadi, aparat TNI dan polisi melakukan razia bendera Aceh. Pada 2 dan 3 Agustus lalu, di Kabupaten Nagan Raya, tim gabungan TNI dan polisi mengamankan sedikitnya 12 lembar bendera Aceh yang mirip bendera GAM.

Mantan Komandan Pusat Polisi Militer TNI, Mayor Jenderal (pur­nawirawan) Syamsu Djalal, mendukung aksi TNI dan polisi itu. "Apa yang dilakukan„TNI dan polisi itu sudah tepat," katanya. Diakui Syamsu, perlu sikap tegas pemerintah untuk tidak membiarkan atribut kelompok separatis, termasuk benderanya, berkibar di wilayah NKRI.

Meski sudah diperingatkan untuk merevisi qanun, pihak Pemprov Aceh bergeming. Alasannya, qanun itu sudah sah sebagai produk hukum. Mereka mendalilkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 154 ayat 3 disebutkan, pemerintah punya kewenangan membatalkan produk hukum daerah selama 60 hari sejak pemberitahuan pengesahan produk hukum daerah itu diterima pemerintah pusat. Pembatalan itu dilakukan dengan menerbitkan peraturan presiden (pepres).

Dalam catatan Pemprov Aceh, pemberitahuan pengesahan qanun itu diserahkan ke Kemendagri sejak 27 Maret lalu. Namun, hingga batas waktu 60 hari berakhir, belum juga diterbitkan pepres terkait pembatalan qanun tersebut.

Gubernur Zaini mengungkapkan, hingga kini belum tercapai kesepakatan final antara pemerintah pusat dan Pemprov Aceh terkait qanun bendera dan lambang Aceh itu. Pembahasan akan dilakukan kembali pada 15 Oktober mendatang. Selama masa cooling down ini, Zaini mengimbau semua pihak agar menjaga ketertiban dan kententeraman di Aceh. "Kami akan terus mencari solusi terbaik terkait (qanun) lambang dan bendera Aceh," katanya.

Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Djohcrmansyah Djohan, meno­lak tudingan bahwa Kemendagri lalai dalam membatalkan qanun itu karena telah lewat 60 hari sejak Pemprov Aceh menyampaikan surat pemberitahuan ke pihak Kemendagri. Djohermansyah mengungkapkan, Kemendagri memilih langkah persuasif daripada langsung me­lakukan pembatalan. "Enam puluh hari itu kari waktu untuk membatalkan, tapi kami (Kemendagri —Red.) memilih melakukan langkah persuasif Kami lebih cenderung melakukan evaluasi dahulu," ujarnya.

Menurut Djohermansyah, sesuai dengan MoU Helsinki, Aceh memang berhak memiliki lambang dan bendera daerah. Hanya saja, qanun itu mengingkari poin 4.2 MoU Helsinki yang berbunyi: "GAM melakukan demobilisasi atas semua 3.000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam mau­pun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan nota kesepahaman". "Mereka membuat ben­dera aceh yang notabene sama persis de­ngan bendera GAM," katanya.

Pemerintah pusat khawatir jika bendera Aceh yang mirip GAM itu dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi daerah lain yang punya sejarah pemberontakan. Bukan tidak mungkin, daerah-daerah yang punya basis pem­berontakan mengangkat bendera gerakan itu menjadi hendera daerah. "Misalnya di Papua," tutur Djohermasyah kepada Gatra.

Sementara itu, pakar hukum tata negara, Margarito Kamis berpendapat, meskipun bendera daerah merupakan lambang kultural yang mencitrakan kesan daerah, tetap saja harus sejalan dengan hukum dan peraturan negara. "Sekalipun lambang kultural, tidak bisa mengesankan hal-hal yang tidak senapas dengan dimensi-dimensi kesatuan hukum dan politik itu," ujar Margarito. Sujuo Dwi Pratisto, Mira Febri Mellya, dan Hendra Syahputra (Banda Aceh), Sumber: Majalah Gatra (28 Agustus 2013/Rabu, Hal 35)