Bendera Aceh yang mirip bendera
GAM masih berkibar di Aceh. Berdalih belum ada pepres pembatalan qanun. Buntut
sikap pemerintah yang tidak tegas?
Zainuddin, 40 tahun, warga
Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Nanggroe Aceh Darussalam, terlihat pucat
begitu ditanya seputar bendera Aceh. Sebagai warga asli Aceh, ia mengaku terbesit
niat untuk mengibarkan bendera Aceh. Namun ia takut kesandung masalah dengan
aparat TNI dan polisi. "Maunya mengibarkan bendera bintang bulan (bendera
Aceh), tapi khawatir dilarang aparat," kata Zainuddin kepada Gatra, Jumat
pekan lalu.
Larangan mengibarkan bendera Aceh
muncul setelah ada gejolak pro-kontra soal bendera Aceh. Larangan ini merupakan
hasil kesepakatan bersama pemerintah pusat dengan Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Aceh dan disosialisasikan sejak akhir Juli lalu. Namun, dari pantauan
Gatra, di beberapa wilayah masih ditemukan bendera Aceh yang berkibar, antara
lain di sejumlah kawasan di sepanjang lintas timur Aceh.
Pengibaran bendera Aceh itu dilakukan
warga untuk memperingati delapan tahun penandatanganan nota kesepakatan (MoU)
antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki.
"Beginilah kalau rakyat menginginkan dan pusat juga tidak tegas.
Pelarangan tak berlaku lagi," kata Irwansyah, seorang warga Kabupaten
Bireuen.
Polemik soal bendera Aceh ini
berawal pasca-disahkannya Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan
Lambang Aceh oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh (DPRA), 23 April lalu. Qanun ini didasari MoU Helsinki yang
ditandatangani pada 15 Agustus 2005 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh (UU PA). Dalam dua beleid itu disebutkan bahwa Aceh
berhak menggunakan simbol-simbol kedaerahan, termasuk lambang dan bendera.
Merujuk pada qanun itu, bendera
Aceh merupakan bendera dengan warna dominasi merah, diselingi garis putih dan
hitam. Yang mencolok, di bagian tengah bendera terpampang gambar bintang bulan
warna putih. Karena itu, masyarakat Aceh menyebut bendera ini dengan bendera
bintang bulan. Desain bendera Aceh ini sama persis dengan bendera GAM.
Kemiripan 100% bendera Aceh dengan
bendera GAM itu membuat berang pemerintah pusat. Hanya selang beberapa hari
setelah pengesahan qanun itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi,
mengirim surat klarifikasi kepada Gubernur Aceh. Isi surat itu menyebutkan,
intinya Jakarta keberatan dengan qanun tersebut. Misalnya Pasal 4 yang memuat
desain bendera Aceh.
Menurut pemerintah pusat, desain
itu sama persis dengan bendera GAM. Padahal, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77
Tahun 2007 tentang Lambang Daerah mengatur bahwa desain bendera daerah tidak
boleh memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain
gerakan separatis dalam NKRI (Pasal 6 ayat 4). Selanjutnya, dalam penjelasan
pasalnya disebut, bendera bulan sabit merupakan bendera yang digunakan gerakan
separatis di Provinsi Aceh.
Merasa tak cukup dengan mengirim
surat klarifikasi, Presiden Susilo Sambang Yudhoyono (SBY) memanggil Gubernur
Aceh, Zaini Abdullah, untuk menghadapnya. Pada 17 April, Gubernur Zaini
didampingi Pemangku Wali Nanggroe, Malik Mahmud Al-Haytar, bertandang ke
Jakarta. Dalam pertemuan itu, SBY meminta Gubernur Zaini mengubah bendera Aceh
atau setidaknya dilakukan modifikasi agar tidak mirip dengan bendera GAM.
Menjelang peringatan kesepakatan
Helsinki, 15 Agustus, dan peringatan kemerdekaan RI, 17 Agustus, polemik
tentang bendera Aceh ini makin memanas. Pada 29 Juli, Pangdam Iskandar Muda,
Mayor Jenderal Zahari Siregar, menyerukan larangan pengibaran bendera Aceh.
Kata Zahari, hanya boleh satu bendera yang dikibarkan, yakni bendera
Merah-Putih. "Tidak boleh ada berkibar bendera selain Merah-Putih di
Aceh," katanya.
Menindaklanjuti seruan pangdam
tadi, aparat TNI dan polisi melakukan razia bendera Aceh. Pada 2 dan 3 Agustus
lalu, di Kabupaten Nagan Raya, tim gabungan TNI dan polisi mengamankan
sedikitnya 12 lembar bendera Aceh yang mirip bendera GAM.
Mantan Komandan Pusat Polisi
Militer TNI, Mayor Jenderal (purnawirawan) Syamsu Djalal, mendukung aksi TNI
dan polisi itu. "Apa yang dilakukan„TNI dan polisi itu sudah tepat,"
katanya. Diakui Syamsu, perlu sikap tegas pemerintah untuk tidak membiarkan
atribut kelompok separatis, termasuk benderanya, berkibar di wilayah NKRI.
Meski sudah diperingatkan untuk
merevisi qanun, pihak Pemprov Aceh bergeming. Alasannya, qanun itu sudah sah
sebagai produk hukum. Mereka mendalilkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 154 ayat 3 disebutkan, pemerintah punya kewenangan
membatalkan produk hukum daerah selama 60 hari sejak pemberitahuan pengesahan
produk hukum daerah itu diterima pemerintah pusat. Pembatalan itu dilakukan
dengan menerbitkan peraturan presiden (pepres).
Dalam catatan Pemprov Aceh,
pemberitahuan pengesahan qanun itu diserahkan ke Kemendagri sejak 27 Maret
lalu. Namun, hingga batas waktu 60 hari berakhir, belum juga diterbitkan pepres
terkait pembatalan qanun tersebut.
Gubernur Zaini mengungkapkan,
hingga kini belum tercapai kesepakatan final antara pemerintah pusat dan
Pemprov Aceh terkait qanun bendera dan lambang Aceh itu. Pembahasan akan
dilakukan kembali pada 15 Oktober mendatang. Selama masa cooling down ini, Zaini mengimbau semua pihak agar menjaga
ketertiban dan kententeraman di Aceh. "Kami akan terus mencari solusi
terbaik terkait (qanun) lambang dan bendera Aceh," katanya.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri,
Djohcrmansyah Djohan, menolak tudingan bahwa Kemendagri lalai dalam
membatalkan qanun itu karena telah lewat 60 hari sejak Pemprov Aceh menyampaikan
surat pemberitahuan ke pihak Kemendagri. Djohermansyah mengungkapkan,
Kemendagri memilih langkah persuasif daripada langsung melakukan pembatalan.
"Enam puluh hari itu kari waktu untuk membatalkan, tapi kami (Kemendagri
—Red.) memilih melakukan langkah persuasif Kami lebih cenderung melakukan
evaluasi dahulu," ujarnya.
Menurut Djohermansyah, sesuai
dengan MoU Helsinki, Aceh memang berhak memiliki lambang dan bendera daerah.
Hanya saja, qanun itu mengingkari poin 4.2 MoU Helsinki yang berbunyi: "GAM
melakukan demobilisasi atas semua 3.000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak
akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah
penandatanganan nota kesepahaman". "Mereka membuat bendera aceh yang
notabene sama persis dengan bendera GAM," katanya.
Pemerintah pusat khawatir jika
bendera Aceh yang mirip GAM itu dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi
daerah lain yang punya sejarah pemberontakan. Bukan tidak mungkin,
daerah-daerah yang punya basis pemberontakan mengangkat bendera gerakan itu
menjadi hendera daerah. "Misalnya di Papua," tutur Djohermasyah
kepada Gatra.
Sementara itu, pakar hukum tata
negara, Margarito Kamis berpendapat, meskipun bendera daerah merupakan lambang
kultural yang mencitrakan kesan daerah, tetap saja harus sejalan dengan hukum
dan peraturan negara. "Sekalipun lambang kultural, tidak bisa mengesankan
hal-hal yang tidak senapas dengan dimensi-dimensi kesatuan hukum dan politik
itu," ujar Margarito. Sujuo Dwi
Pratisto, Mira Febri Mellya, dan Hendra Syahputra (Banda Aceh), Sumber: Majalah
Gatra (28 Agustus 2013/Rabu, Hal 35)