JAKARTA — Kepala Staf Angkatan Darat
Jenderal Moeldoko memastikan pemerintah membeli delapan unit helikopter
Apache. Menurut dia, Kementerian Pertahanan sudah memberi lampu hijau untuk
membeli helikopter serang canggih AH-64-D Apache Longbow dan Amerika Serikat
itu.
Dewan Perwakilan Rakyat, yang
sebelumnya menolak pembelian Apache karena dianggap kemahalan, kata Moeldoko,
kini sudah sepakat menyetujuinya. "DPR dan Kementerian Pertahanan sudah
oke," kata dia saat ditemui Tempo di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma,
Jakarta, kemarin.
Ia tak mau menyebutkan harga
pembelian delapan helikopter itu dengan alasan tak tahu pasti harganya. Ia
mengatakan, pemerintah pada tahun ini sudah mulai membayarkan uang muka ke
pemerintah Amerika Serikat. "Pembayaran uang muka menjadi awal kesepakatan
pembelian helikopter," ujar dia. Kedelapan helikopter akan diterima
Indonesia secara bertahap mulai 2018 hingga 2021.
Adapun Komisi Pertahanan DPR
membenarkan menyetujui pembelian Apache, meski awalnya menolak. "Setelah
dipikir-pikir, memang dibutuhkan Apache untuk memperkuat jajaran Angkatan
Darat," ujar Wakil Ketua Komisi Pertahanan, Tubagus Hasanuddin, saat
dihubungi kemarin.
Tubagus adalah salah satu anggota
parlemen yang sebelumnya menentang pembelian Apache. Alasannya, harga Apache
terlalu mahal. Namun Tubagus kini beranggapan Apache adalah helikopter serang
tercanggih saat ini. Helikopter yang akan dibeli Indonesia adalah produksi
tahun 2007-2008. "Untuk ukuran usia pesawat bersayap putar, umur 5-6 tahun
tergolong masih bisa dikatakan baru." Helikopter ini mampu menembakkan
rudal ke darat dalam jangkauan 60-100 kilometer. "Helikopter ini juga
tepat sasaran karena punya alat pengindraan jarak jauh," kata dia. Tubagus
menjelaskan, menyebutkan, anggaran yang bakal disiapkan mencapai Rp 3,1
triliun.
Rizal Darma Putra, pengamat
militer dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, meminta
Kementerian Pertahanan dan DPR teliti dalam membeli delapan helikopter Apache.
Ia mengingatkan pemerintah dan DPR agar tidak lengah membaca, kontrak pembelian
dengan pihak Amerika Serikat, pemilik Apache. "Kalau tak teliti, sudah
pasti rugi," kata Rizal kemarin.
Menurut dia, kerugian pertama
adalah soal harga yang mahal. Pembelian alat utama sistem persenjataan bekas
biasanya disertai dengan klausul perbaikan atau"retrofit". "Jika
tak teliti, biaya perbaikan ini bisa membengkak di luar estimasi."
Kerugian kedua, tidak mendapatkan alat persenjataan yang lengkap. (indra wijaya), Sumber: KoranTempo (16
Agustus 2013/Jumat, Hal. 07)