Secara legal formal, TNI sudah mundur dari
perannya di dunia politik. Selain menjadi hakikat demokrasi, tujuan akhirnya
adalah agar TNI profesional dan menjadi kekuatan pertahanan yang mumpuni dalam
menghadapi tantangan yang kompleks. Namun, garisnya belum solid.
Hadir fenomena yang perlu dikaji dalam dinamika
hubungan sipil-militer di ruang politik Indonesia. TNI tetap jadi elemen bangsa
yang tidak hidup di ruang kosong di mana kita tengah berhadapan dengan berbagai
problem kebangsaan akut.
Hadirnya beberapa calon presiden berlatar belakang
militer bisa dilihat dari kacamata sejarah. Para calon, seperti Prabowo
Subianto, Wiranto, Djoko Santoso, Pramono Edhie Wibowo, Endriartono Sutarto,
Sutiyoso, dan Djoko Suyanto, adalah sisa-sisa pelaku dwifungsi ABRI, militer
yang berpolitik.
Anggota DPR dari PDI-P, Helmy Fauzi, mengatakan, mereka
piawai dalam pembinaan sosial-politik, termasuk ormas politik dan
tokoh-tokohnya. Cara-cara militer juga dipakai di partai, mulai dari pembinaan,
penggalangan, sampai pemetaan sebagaimana operasi intelijen. Sebelumnya,
pengamat militer Salim Said pernah mengatakan, dalam sejarah dan budaya politik
Indonesia, presiden hanya bisa bertahan selama masih didukung militer secara
solid dan nyata. Turunnya Soekarno dan Soeharto adalah bukti empirik. Persepsi
masyarakat tentang politisi dari militer juga masih positif. Seperti hasil
survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti mengatakan,
27,1 persen responden ingin presiden dari militer. Bahkan, menurut Helmy, di
elite parpol juga masih ada persepsi kalau politisi sipil lemah dan tidak
mampu.
Sikap permisif bahkan inferior sipil terhadap
militer masih tertanam. Hal menarik dicermati adalah saat Kepala Staf TNI AD
Jenderal Moeldoko, 8 Juli lalu, mengumpulkan tokoh budaya, mahasiswa, LSM, pengusaha,
dan politisi di Balai Kartini. Di satu sisi, pertemuan itu cocok dengan budaya
silaturahim dan membuka ruang komunikasi. Helmy mengatakan, sulit membayangkan,
hal serupa terjadi di negara demokrasi lain.
“Bagaimana bisa di negara demokrasi, kepala staf
tentara memanggil politisi," katanya. Dalam kesempatan ini, Moeldoko,
salah satu calon Panglima TNI, memajukan wacana Operasi Militer Selain Perang
(OMSP). OMSP yang dalam UU No 34/2004 tentang TNI telah dikunci perlu legitimasi
politik Presiden ini, menurut Moeldoko, diimplementasikan dalam tugas
pembinaan teritorial. Ia menegaskan, pembinaan teritorial ini adalah sarana TNI
memahami rakyat dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi rakyat, bukan untuk
berpolitik.
Kalau KSAD Moeldoko menyosialisasikan OMSP, KSAD
sebelumnya, Pramono Edhie Wibowo, menjadi calon peserta konvensi capres Partai
Demokrat juga jadi fenomena menarik. Pramono pakai jaket biru Demokrat, bahkan
jadi anggota Dewan Pembina tak sampai sebulan setelah menanggalkan seragam
hijau TNI AD. Di kalangan prajurit TNI, pembicaraan tentang Pramono telah
mengemuka sejak menjadi KSAD.
Ikrar dalam suatu diskusi di Imparsial mengatakan,
banyak mahasiswanya di Universitas Pertahanan, terutama dari kalangan TNI AL
dan TNI AU, yang merindukan dwi-fungsi ABRI. "Wajar, soalnya siapa sih
yang mau kehilangan kuasa," katanya. (EDNA
C PATTISINA), Sumber Koran: Kompas (22 Juli 2013/Senin, Hal. 04)