[YOGYAKARTA] Persidangan
maraton kasus penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas IIB Sleman
mendengarkan keterangan saksi ahli. Psikolog Forensik Universitas Pancasila
Jakarta, Reza Indragiri Amriel. Pada sidang di Pengadilan Militer II-11
Yogyakarta, Jumat (19/7), hadir pula saksi Komandan Pelaksana Latihan Terpusat
Pusdik Kopassus Letkol Burhan Samsudin.
Reza Indragiri Amriel mengatakan, majelis hakim
bisa meringankan hukuman, bahkan membebaskan pelaku pembunuhan, meski
peristiwanya sangat ekstrim. Keputusan tersebut bisa diambil, jika seorang
pelaku mengalami stress disorder atau
jenis gangguan kecemasan yang dipicu oleh peristiwa traumatis.
"Salah satu ciri stress disorder, pelaku memandang satu peluru sudah bisa
mematikan, tetapi peluru ditembakkan lebih dari satu. Artinya, prinsip efisiensi
tidak berjalan," ujarnya.
Dikatakan, dua kemungkinan ketika seseorang
melakukan tindak kejahatan dalam posisi stress
disorder. Pertama, jika pelaku kejahatan normal, sesungguhnya dalam
aksinya dia membawa beberapa misi, yakni mencari target dan bertindak efisien.
Kedua, seseorang bertindak kejahatan, kemudian
melakukan selebrasi, hal tersebut dilakukan tidak sesuai dengan normatif.
"Jika seseorang memuntahkan banyak peluru, padahal satu saja cukup, sudah
ada indikator orang tersebut mengalami stress
disorder. Jika seseorang mengalami stress
disorder, pasti orang akan mengalami penumpulan berfikir dan keanjlokan
secara kognitif," terang Reza.
Ketua Majelis Hakim diketuai Letkol Chk Dr Joko
Sasmito SH MH menanyakan kepada saksi ahli, apakah orang bisa trauma dan
stres, meski informasi hanya diterima lewat mendengar. Saksi ahli menyatakan,
bahkan dari sekadar membaca berita pun bisa menimbulkan stres.
Reza menyoroti banyak kasus yang melibatkan tentara
yang mengalami stress disorder.
Beberapa riset menyebutkan, fenomena gangguan stres di lingkungan militer
sangat tinggi.
Sepanjang 2006-2008, angka gangguan stres tentara
Amerika meningkat sampai 400%. Dari penelitian, pada 2006 ada 6.800 tentara menderita
stres dan tahun 2008 naik tajam jadi 28.000 orang.
"Aksi kekerasan itu bukan wujud maskulinitas,
tapi dipicu rasa bersalah karena gagal melindungi orang yang seharusnya mereka
jaga. Sejak 2008, penegak hukum di negara Amerika memberlakukan treatment court." katanya.
Pemulihan
Psikologis
Pada model sidang ini, posisi jaksa dan pengacara
tidak saling berseberangan, sebagaimana sidang konvensional. Namun, mereka
bekerja sama untuk kepentingan pemulihan psikologi terdakwa.
Saksi lain, Komandan Pelaksana Latihan Terpusat
Pusdik Kopassus Letkol Burhan Samsudin, memberikan keterangan bahwa senjata
yang digunakan terdakwa hanya boleh digunakan saat latihan. Secara aturan, ia
menjelasakan bahwa para pelaku salah menggunakan senjata diluar kegunaannya di
areal latihan meski aturan tersebut tidak tertulis. Amunisi yang mereka
gunakan juga hanya boleh dipakai pada saat latihan.
Burhan, mengakui dia tidak memberikan penjelasan
secara teknis kepada tim pendukung, karena yakin kualifikasi komando pada
anggota Grup 2 Kopassus tidak diragukan dan sudah memahami bagaimana
bertindak. [152], Sumber Koran: Suara
Pembaruan (20 Juli 2013/Sabtu, Hal. 12)