Senin, 22 Juli 2013

Sidang Kasus Cebongan_Saksi Ahli: Pelaku Bisa Saja Bebas


[YOGYAKARTA]   Persi­dangan maraton kasus penye­rangan Lembaga Pemasyara­katan (LP) Kelas IIB Sleman mendengarkan keterangan saksi ahli. Psikolog Forensik Universitas Pancasila Jakarta, Reza Indragiri Amriel. Pada sidang di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta, Jumat (19/7), hadir pula saksi Ko­mandan Pelaksana Latihan Terpusat Pusdik Kopassus Letkol Burhan Samsudin.

Reza Indragiri Amriel mengatakan, majelis hakim bisa meringankan hukum­an, bahkan membebaskan pelaku pembunuhan, meski peristiwanya sangat ekstrim. Keputusan tersebut bisa diambil, jika seorang pelaku mengalami stress disorder atau jenis ganggu­an kecemasan yang dipicu oleh peristiwa traumatis.

"Salah satu ciri stress disorder, pelaku meman­dang satu peluru sudah bisa mematikan, tetapi peluru ditembakkan lebih dari sa­tu. Artinya, prinsip efisien­si tidak berjalan," ujarnya.

Dikatakan, dua ke­mungkinan ketika seseo­rang melakukan tindak ke­jahatan dalam posisi stress disorder. Pertama, jika pe­laku kejahatan normal, se­sungguhnya dalam aksinya dia membawa beberapa mi­si, yakni mencari target dan bertindak efisien.

Kedua, seseorang ber­tindak kejahatan, kemudian melakukan selebrasi, hal tersebut dilakukan tidak se­suai dengan normatif. "Jika seseorang memuntahkan banyak peluru, padahal sa­tu saja cukup, sudah ada in­dikator orang tersebut mengalami stress disorder. Jika seseorang mengalami stress disorder, pasti orang akan mengalami penum­pulan berfikir dan keanjlokan secara kognitif," te­rang Reza.

Ketua Majelis Hakim diketuai Letkol Chk Dr Joko Sasmito SH MH mena­nyakan kepada saksi ahli, apakah orang bisa trauma dan stres, meski informasi hanya diterima lewat men­dengar. Saksi ahli menyata­kan, bahkan dari sekadar membaca berita pun bisa menimbulkan stres.

Reza menyoroti banyak kasus yang melibatkan ten­tara yang mengalami stress disorder. Beberapa riset menyebutkan, fenomena gangguan stres di lingkung­an militer sangat tinggi.

Sepanjang 2006-2008, angka gangguan stres tenta­ra Amerika meningkat sampai 400%. Dari peneli­tian, pada 2006 ada 6.800 tentara menderita stres dan tahun 2008 naik tajam jadi 28.000 orang.

"Aksi kekerasan itu bu­kan wujud maskulinitas, ta­pi dipicu rasa bersalah ka­rena gagal melindungi orang yang seharusnya me­reka jaga. Sejak 2008, pe­negak hukum di negara Amerika memberlakukan treatment court." katanya.

Pemulihan Psikologis
Pada model sidang ini, posisi jaksa dan pengacara tidak saling berseberangan, sebagaimana sidang konvensional. Namun, mereka bekerja sama untuk kepen­tingan pemulihan psikologi terdakwa.

Saksi lain, Komandan Pelaksana Latihan Terpusat Pusdik Kopassus Letkol Burhan Samsudin, membe­rikan keterangan bahwa senjata yang digunakan ter­dakwa hanya boleh diguna­kan saat latihan. Secara aturan, ia menjelasakan bahwa para pelaku salah menggunakan senjata diluar kegunaannya di areal latihan meski aturan terse­but tidak tertulis. Amunisi yang mereka gunakan juga hanya boleh dipakai pada saat latihan.

Burhan, mengakui dia tidak memberikan penje­lasan secara teknis kepada tim pendukung, karena ya­kin kualifikasi komando pada anggota Grup 2 Ko­passus tidak diragukan dan sudah memahami bagaima­na bertindak. [152], Sumber Koran: Suara Pembaruan (20 Juli 2013/Sabtu, Hal. 12)