Dewi Safitri-Produser
BBC Indonesia
15 Juli 2013 -
16:55 WIB
Setelah nyaris mati
suri dalam 15 tahun, modernisasi peralatan tempur Indonesia kini diklaim
berjalan secara progresif.
Hingga habis masa
pemerintahan Presiden SBY pada 2014, ditargetkan modernisasi sudah menjangkau
sedikitnya 30% kebutuhan minimum TNI.
"Dengan
dinamika yang terjadi sekarang, (modernisasi) bisa dipercepat," kata
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.
Ia mencontohkan
beberapa rencana yang berjalan justru lebih cepat dari target.
Pembangunan
kekuatan pesawat jet F16 asal Amerika Serikat, misalnya, dari rencana hanya
menambah enam pesawat baru ternyata Klik justru akan direalisir menjadi 24,
meski bekas pakai.
"Ini belum
sekarang kita di-offer 10 lagi," tambah Purnomo.
Demikian pula
Hercules, yang mulanya belum masuk rencana 2013, karena hanya akan diisi dengan
pesawat CN295 buatan Airbus Military dan PTDI, kini akan akan ditambah 10 buah
juga bekas pakai dari Australia.
Percepatan sangat
mungkin
Dengan 34 pesawat
F16 dan 10 Hercules ini, Purnomo yakin postur kemampuan tempur TNI akan sangat
berubah.
"Ditambah
dengan yang sudah kita punya saat ini, kita akan menjadi amat kuat,"
janjinya dengan menggunakan ebagian pernyutaannya dalam bahasa Inggris.
Di darat, TNI juga
akan berubah dengan tampilan antara 100-130 unit Klik tank Leopard asal Jerman
yang sudah lama diidamkan TNI-AD.
Pengamat militer
dan pengajar pada jurusan Hubungan Internasional UI Andi Widjajanto mengatakan
klaim Purnomo bukan isapan jempol.
"Saya kira
percepatan sangat mungkin. Dalam Latgab TNI lalu nampak bahwa kekuatan TNI
sudah 40%," puji Andi.
Latgab (latihan
gabungan) itu dilangsungkan di beberapa titik termasuk Sangatta di Kaltim dan
Situbondo di Jatim.
Presiden Yudhoyono
sendiri yang melihat langsung jalannya operasi, yang disaksikan pula oleh
publik melalui komentarnya dalam situs mikro blog, Twitter.
"Negara kita
luas, karenanya kita perlu memiliki kekuatan militer yang handal dan
terlatih," kicau Presiden melalui @sbYudhoyono.
Titik terendah
Buku Putih
Pertahanan Indonesia yang terbit 2008 menyebut perlunya membangun kekuatan
bersenjata dengan terencana.
Target pencapaian
minimum essential force (Kekuatan Pertahanan Minimal, KPM) dirancang tercapai
pada 2024.
Itu berarti hingga
11 tahun mendatang, Indonesia harus dapat menerima kondisi saat ini, yaitu
dengan kekuatan tempur yang bahkan di bawah minimum.
Langkah panjang ini
menurut Andi perlu untuk mengembalikan TNI sebagai kekuatan bersenjata yang
disegani di ASEAN maupun di dalam negeri.
Sejak dibelit
krisis moneter tahun 1997, kekuatan ABRI (saat itu) hampir compang-camping.
"Ke luar
pengaruh kita diambil oleh Malaysia dan Singapura, sedang ke dalam kita
terpaksa melepas Timor Timur tahun 1999," tambah Andi.
Sebagai kekuatan
bersenjata yang menjadikan 'NKRI harga mati' sebagai acuan dasar, lepasnya
Timtim menurut Andi menandai 'titik terendah TNI' saat itu.
"Praktis
(pertahanan) kita tak punya daya tawar sama sekali."
Kekuatan rendah
juga sangat merugikan Indonesia secara ekonomi.
Dari kasus
pencurian ikan di laut perbatasan saja menurut Kementrian Perikanan
menggerogoti potensi pendapatan negara hingga Rp30 triliun per tahun.
Harap maklum,
sampai 2012 Indonesia baru punya 24 kapal patroli memadai.
"Padahal
wilayah maritim kita besar sekali, jadinya kita diremehkan nelayan asing
pencuri ikan," kata anggota Komisi Pertahanan DPR, TB Hasanuddin.
Interoperabilitas
Pemerintah SBY kemudian
menggenjot angka belanja senjata, yang sampai 2024 diharapkan mencapai titik
idealnya, sekitar Rp170 triliun per tahun atau setara dengan 1,5% dari APBN.
Meski nampak sangat
besar, secara persentase angka ini masih kalah dari total belanja alutsista
Singapura dan Malaysia yang berkisar 2-3% dari total PDB.
Meski demikian,
menurut Andi Widjajanto bila diteruskan sesuai rencana, kekuatan pertahanan
Indonesia akan menjadi salah satu yang terbesar di Asia.
"KPM 2024
kalau dibandingkan tahun 2000 itu 5-6 kali lipat. Itu pun kita saat itu masih
menyebutnya minim, baru mau mulai membangun postur riil," tegasnya.
Tetapi dengan
strategi pembelian senjata dari berbagai negara sekaligus, masalah lain muncul:
bagaimana TNI memadupadankan penggunaan berbagai senjata itu?
Sistem senjata dari
satu negara biasanya punya sistem komunikasinya sendiri, kata TB Hasanuddin,
yang sebelumnya sempat berkarir di TNI selama 25 tahun.
"Kemarin (di
arena Latgab) saya lihat prajurit darat pegang radio untuk pesawat, radio lagi
untuk tank, radio untuk lain lagi. Nanti bisa-bisa dia harus bawa 6-7 radio
repot sekali," kata Hasanuddin sambil tertawa.
Interoperabilitas,
atau padu-padan sistem operasi bersamaan, memang jadi tantangan kata Menhan
Purnomo Yusgiantoro.
"Tugas
Panglima TNI untuk dapat melihat bagaimana alutsista itu dapat terkait satu
dengan yang lain," kata Purnomo.
Kemampuan
memecahkan persoalan ini menurut pengamat pertahanan CSIS, Iis Gindarsah, akan
sangat menentukan masa depan pertahanan Indonesia.
"Karena TNI
sedang bergerak menuju rightsizing, merampingkan pasukan sesuai
kebutuhan," kata Gigin.
"Dengan
demikian nantinya pertahanan kita akan lebih banyak diawaki oleh alutsista yang
canggih, dengan personel yang lebih sedikit tapi mumpuni."