Ketika lebih dari 1 juta massa 2 tahun yang
silam numplek di Lapangan Tahrir, Kairo, menuntut Presiden Hosni Mubarak segera
mengundurkan diri. Mubarak yang sudah berkuasa hampir 30 tahun bersikeras tidak
mau mundur. Dewan Militer Mesir mengeluarkan pernyataan keras, meminta agar
pemerintah segera mencari solusi untuk mengakhiri krisis politik. Sebelum
situasi semakin gawat, pimpinan Angkatan Bersenjata Mesir menggulingkan
pemerintahan Mubarak, bahkan menahan Mubarak dan sejumlah konconya.
Mursi menggantikan Mubarak. Tidak lama kemudian,
Mursi membubarkan parlemen, membekukan konstitusi dan meminta pemilu dalam 6
bulan. Setelah memenangkan pemilu, ia terus memperkuat kekuasaannya, bahkan lewat
perubahan konstitusi pada Desember 2012, menjadikan dirinya pemimpin dengan
kekuasaan omnipoten. Pemerintahannya diisi oleh orang-orang dekatnya. Sebelum
mengubah konstitusi, pada Agustus 2012 ia pensiun dinikan dua jenderalnya yang
berperan penting dalam penggulingan Mubarak. Mereka adalah Marsekal Mohamed
Hussein Tantawi, Menteri Pertahanan selama 20 tahun, dan Jenderal Sami Hafez
Anan, Kepala Staf Angkatan Darat. Pada waktu yang sama Presiden Mursi
mengangkat Jenderal Abdel Fattali el-Sisi sebagai Kepala Badan Intelijen;
bahkan kemudian memercayakannya jabatan Menteri Pertahanan merangkap Panglima
Angkatan Bersenjata.
Kecenderungannya menjadi "diktator baru"
mengundang perlawanan sengit dari lawan-lawan politiknya. Oposisi berhasil memprovokasi
rakyat untuk bergerak menumbangkan pemerintahan Mursi. Situasi pada 2011
terulang kembali: dua kubu pro dan kontra Mursi siap bertarung habis-habisan.
Teori Spiral Kebisuan berlaku: para pendukung Ikliwanul Muslimin-benteng
kekuatan Mursi agak terpojok. Pada detik-detik yang kritis, jumlah massa
anti-Mursi ditaksir mencapai 1,5 juta.
Jenderal Abdel Fattah memberikan ultimatum agar
dalam tempo 48 jam presiden mengadakan kesepakatan dengan oposisi. Tatkala
Mursi mengabaikan ultimatum Jenderal Abdel Fattah dan pasukannya bergerak
menggulingkan kekuasaan Mursi, bahkan langsung menahannya. Jutaan rakyat Mesir
kegirangan menyambut tindakan tentara. Kejadian dua tahun yang lalu terulang
kembali tatkala tentara menggulingkan pemerintahan Mubarak.
Kudeta angkatan bersenjata di Mesir, tampaknya,
mendapat perhatian saksama dan berbagai kekuatan politik di Indonesia. Presiden
SBY terus memantau, kata Jurubicara Kepresidenan, Julian Pasha. Secara implisit
SBY menyesalkan kudeta tersebut, sebab Mursi adalah presiden yang dipilih
melalui pemilu demokratis.
"Bisakah peristiwa di Mesir terjadi di
Indonesia?" Beberapa orang bertanya kepada saya.
Saya jawab spontan: kemungkinan itu amat kecil.
Pasal 194 konstitusi Mesir 2012 yang
"diciptakan" pemerintah Mursi mengatakan Angkatan Bersenjata Mesir
milik rakyat. Fungsi utamanya melindungi negara dan memelihara keamanan dan
integritas wilayah negara. Pasal 193 mengatur Dewan Keamanan Nasional (National Security Council). Peran pokok
DKN disebutkan: It identifies the threats
to homeland security within and beyond the national borders and the measures and
steps that both the state and the People must take to thwart them."
Dua pasal penting Konstitusi 2012, oleh pimpinan
Angkatan Bersenjata, diinterpretasikan sebagai sikap proaktif tentara untuk
mengambil segala tindakan yang diperlukan, termasuk mengambilalih kekuasaan
pemerintah manakala pimpinan AB menilai situasi dalam negeri benar-benar mengancam
keamanan dan integritas bangsa dan negara. Jenderal Abdel Fattah dan
kawan-kawannya pasti menilai situasi Mesir pekan lalu sudah berada di bibir
jurang perang saudara yang sangat membahayakan keamanan dan integritas bangsa.
Pengambilalihan kekuasaan terpaksa dilakukan demi menyelamatkan negara.
Bagaimana
dengan TNI?
UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatakan (Pasal
5) bahwa "TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam
menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara."
Ini berarti TNI tidak boleh bertindak dalam situasi apa pun sepanjang belum ada
keputusan politik negara. Keputusan politik negara tidak lain keputusan yang
diambil pemerintah bersama DPR.
Memang tugas TNI seperti diatur dalam Pasal 7 UU
yang sama adalah "menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan
wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari
ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara." Tapi sekali
lagi, TNI tidak bisa bergerak dan bertindak sendiri, bagaimana pun situasi
politik di dalam negeri tanpa persetujuan DPR!
Kecuali itu, beberapa Jenderal memberitahukan saya,
termasuk yang mantan bintang empat, bahwa (a) TNI dalam sejarahnya tidak
mengenal kudeta; (b) TNI sudah kapok bermain politik. "Hukuman
publik" terhadap kekeliruan TNI pada era Orde Baru, hingga sekarang, belum
juga usai. Berbagai elemen kekuatan masyarakat sampai sekarang masih sering
menggunakan "kacamata hitam" dalam menilai sepak terjang TNI. (c) Jabatan-jabatan
strategis dan puncak di lingkungan TNI, termasuk Panglima TNI dan Kepala Staf
Angkatan, kerapkali, diberikan kepada mereka yang pernah menjabat ajudan
Presiden. Ajudan biasanya loyal kepada His
Master. PENULIS adalah Dosen Sekolah
Staf dan Komando (Sesko) TNI, Bandung, Sumber Koran: Suara Pembaruan (09 Juli
2013/Selasa, Hal. 10)