TEMPO.CO,
Yogyakarta - Persidangan kasus penyerangan dan pembunuhan empat tahanan di
Lembaga Pemasyarakatan Cebongan Sleman, Yogyakarta, dengan terdakwa 12 anggota
Kopassus dinilai tidak mengalami perkembangan yang berarti. Padahal persidangan
sudah berlangsung sejak 20 Juni 2013 lalu.
“Sepanjang proses
peradilan tidak dimaksudkan untuk 'membuka tabir' yang seluas-luasnya, tidak
ada perkembangan,” ujar Teguh Soedarsono, anggota Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK), kepada Tempo, Rabu, 10 Juli 2013.
Tabir yang dia
maksud adalah pembunuhan berencana yang dilakukan prajurit pasukan elite TNI AD
dengan memakai senjata api dan amunisi dari gudang kesatuannya. Hal ini juga
sebenarnya yang merupakan materi dakwaan oditur militer. “Yang menjadi pokok
dakwaan oditur militer adalah pasal pembunuhan berencana,” kata Teguh.
Menurut dia,
perkembangan proses sidang pengadilan ini kini bukan lagi kemauan dan kemampuan
saksi menjawab dan memberi keterangan dalam sidang pengadilan. Selain itu,
bukan dari kejujuran terdakwa mengakui perbuatan kriminal yang dituduhkan.
"Namun justru dari kemauan, moralitas, dan daya kreatif dari para
pelaksana penegak hukum di sidang pengadilan agar proses sidang pengadilan
mempunyai makna kebenaran dan keadilan," katanya.
Para saksi yang
akan dihadirkan hari ini adalah tahanan yang melihat dan mendengar langsung
insiden penyerangan LP Cebongan pada 23 Maret 2013. Tapi hingga kini hakim
belum memutuskan apakah 10 saksi yang direkomendasikan LPSK akan bersaksi
menggunakan telekonferensi atau tidak.
Wakil Pengadilan
Militer II-11 Yogyakarta Mayor (Chk) Warsono mengatakan, lebih baik dan praktis
saksi didatangkan di persidangan, tidak harus lewat telekonferensi. "Kalau
mau menggunakan telekonferensi, hakim juga harus mempertimbangkan alasannya.
Keputusannya tetap ada di hakim yang menyidangkan," kata dia, 28 Juni
lalu.