Dalam melaksanakan tugas pokoknya mempertahankan
kedaulatan Indonesia, TNI bisa melakukan operasi militer untuk perang dan operasi
militer selain perang. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
yang menempatkan TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan.
Melihat TNI sekarang yang kian berusaha
profesional, latar sejarah dwifungsi tak bisa dilepaskan begitu saja. Namun,
sejatinya dengan UU No 34/2004, TNI diharapkan meninggalkan fungsi sosial
politiknya dan berkonsentrasi menjadi tentara yang mumpuni melakukan tugas
pokoknya yang tidak ringan.
Operasi militer selain perang (OMSP) adalah amanat
undang-undang, seperti tercantum dalam Pasal 7 Ayat (2) UU No 34/2004 tentang
TNI. TNI tidak hanya bisa mengatasi aksi terorisme, mengamankan obyek vital, menjadi
pasukan perdamaian, memberdayakan wilayah pertahanan, membantu penanganan
bencana alam, yang semuanya ada 14 jenis OMSP. Namun, Ayat (2) ini tidak terlepas
dari Ayat (3) yang berbunyi, "dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan
keputusan politik negara".
Belakangan ini banyak gejala yang menunjukkan
terjadi inflasi makna OMSP. Banyak tindakan TNI diklaim sebagai OMSP, seperti
membantu menjaga keamanan atau memberdayakan wilayah pertahanan. Masalahnya,
atas kebijakan dan keputusan siapa? Sementara TNI alat yang hanya bisa
digunakan presiden.
Di stasiun-stasiun kereta api di Jakarta terlihat
anggota Marinir mondar-mandir sebagai penjaga. Dengan pakaian dinas lapangan,
pasukan pendaratan amfibi TNI AL yang disegani ini kerap membantu pemeriksaan
tiket. Komandan Korps Marinir Mayjen (Mar) Faridz Washington mengatakan,
keberadaan pasukan Marinir adalah untuk membantu menjaga keamanan. Kesepakatan
dibuat antara TNI AL dan PT Kereta Api Indonesia. "Terutama kalau ada
yang duduk di atas gerbong atau anggota TNI AL yang melanggar. Kami tidak
pakai POM AL, soalnya jumlahnya sedikit," kata Faridz.
Hal sama terlihat di Bandara Soekarno-Hatta.
Pasukan Khas TNI AU terlihat mondar-mandir, beberapa bahkan dengan senjata
laras panjang di lobi terminal kedatangan dan keberangkatan. Menurut Deputi Senior
Bandara Internasional Soekarno-Hatta Bram Bharoto Tjiptadi, keberadaan Paskhas
sebagai pasukan elite TNI AU atas permintaan manajemen bandara. Hal ini untuk
merespons tindakan teror di Boston, Amerika Serikat, dari antisipasi perkembangan
yang sama di Indonesia. Berhubung Bandara Soekarno-Hatta bisa menjadi pangkalan
induk dalam keadaan darurat, yang menjaga adalah anggota Paskhas. "Ini
termasuk OMSP," kata mantan perwira TNI AU ini.
Saat ditanya kenapa tidak menggunakan Polri dalam
keadaan negara tertib sipil ini, Bram mengatakan pihaknya sudah meminta ke
Polri. "Tapi banyak yang bertugas ke Papua dan daerah-daerah lain
sehingga tidak mengirim ke bandara," katanya.
Di TNI AD juga terjadi multiperan yang mengundang
pertanyaan masyarakat. Seperti disampaikan seorang warga Desa Malala, Kecamatan
Dondo Tolitoli, Sulawesi Tengah, 10 Juni 2013, lewat Surat Pembaca Kompas.
Warga desa merasa diintimidasi petugas PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang
datang dikawal Danramil 1305-04. Dengan setengah memaksa, mereka mengganti
meteran lama dengan meteran prabayar yang menggunakan pulsa Sebagian pelanggan
terpaksa menyetujui penggantian meteran karena takut.
Dalam hak jawabnya, 19 Juni 2013, Komandan Kodim
1305 Letkol Inf SP Silaban mengatakan, Koramil 04/Dondo dimintai bantuan oleh
PT PLN Toli-toli untuk mengubah meteran listrik. Silaban mengatakan, hal itu
adalah bagian dari tugas pembinaan teritorial, yaitu membantu Pemkab Tolitoli
demi meningkatkan kesejahteraan rakyat lewat listrik dan merupakan implementasi
UU No 34/2004 tentang TNI. Lepas dari PLN dan Pemkab Tolitoli adalah dua
entitas berbeda, ketakutan masyarakat menjadi kontraproduktif bagi TNI sebagai
tentara rakyat.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengatakan, pada
prinsipnya Polri tetap berada di depan dalam pengamanan, termasuk di antaranya
pengamanan obyek vital dan demonstrasi. Dalam UU Penanganan Konflik Sosial,
militer boleh berjaga di sekitar obyek vital atau demonstrasi kalau tiba-tiba
diperlukan. Sekjen Kemhan Budiman menyatakan, meteran listrik bukan termasuk
obyek vital. Jika ada yang dilakukan pribadi-pribadi, hendaknya diinformasikan
kepada Kemhan.
Agus Widjojo, mantan Kepala Staf Teritorial TNI,
mengatakan, prinsip yang harus dipegang dalam pelaksanaan OMSP adalah adanya
keputusan politik "Harus keputusan presiden karena TNI itu ada di bawah
Presiden. Harus jelas tugasnya apa, kewenangannya apa, mulai dan selesainya
kapan," kata Agus.
Ia mengatakan, prinsip itu harus dipegang teguh karena
penggunaan aset dan sumber daya TNI yang sebetulnya untuk perang itu berarti
ada perluasan kewenangan. Ia menyayangkan kerja sama TNI dengan instansi mana
pun tanpa melalui Presiden. "Praktik-praktik seperti ini melanggar
undang-undang. Penggunaan TNI itu tidak bisa eceran dan tidak bisa diputuskan
TNI sendiri," katanya.
Ia menyesalkan terjadinya inflasi pengertian dari
OMSP. Untuk itu, ia mendorong agar pemerintah menertibkan segala praktik
pengerahan TNI yang melanggar UU TNI itu sendiri. (EDNA C PATTISINA), Sumber Koran: Kompas (03 Juli 2013/Rabu, Hal 05)