Rabu, 03 Juli 2013

Peran TNI_Mempertanyakan Makna Operasi Militer Selain Perang


Dalam melaksanakan tugas pokoknya mempertahankan kedaulatan Indone­sia, TNI bisa melakukan operasi militer untuk perang dan ope­rasi militer selain perang. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 yang menempatkan TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan.

Melihat TNI sekarang yang kian berusaha profesional, latar sejarah dwifungsi tak bisa dilepaskan begitu saja. Namun, sejatinya dengan UU No 34/2004, TNI diharapkan meninggalkan fungsi sosial politiknya dan berkonsentrasi menjadi tentara yang mumpuni melakukan tu­gas pokoknya yang tidak ringan.

Operasi militer selain perang (OMSP) adalah amanat undang-undang, seperti tercantum dalam Pasal 7 Ayat (2) UU No 34/2004 tentang TNI. TNI tidak hanya bisa mengatasi aksi terorisme, mengamankan obyek vital, menjadi pasukan perdamaian, memberdayakan wilayah pertahanan, membantu penanganan bencana alam, yang semuanya ada 14 jenis OMSP. Namun, Ayat (2) ini tidak terlepas dari Ayat (3) yang berbunyi, "dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik nega­ra".

Belakangan ini banyak gejala yang menunjukkan terjadi inflasi makna OMSP. Banyak tindakan TNI diklaim sebagai OMSP, seperti membantu menjaga ke­amanan atau memberdayakan wilayah pertahanan. Masalahnya, atas kebijakan dan kepu­tusan siapa? Sementara TNI alat yang hanya bisa digunakan presiden.

Di stasiun-stasiun kereta api di Jakarta terlihat anggota Marinir mondar-mandir sebagai penjaga. Dengan pakaian dinas lapangan, pasukan pendaratan amfibi TNI AL yang disegani ini kerap membantu pemeriksaan tiket. Komandan Korps Marinir Mayjen (Mar) Faridz Washing­ton mengatakan, keberadaan pasukan Marinir adalah untuk membantu menjaga keamanan. Kesepakatan dibuat antara TNI AL dan PT Kereta Api Indo­nesia. "Terutama kalau ada yang duduk di atas gerbong atau ang­gota TNI AL yang melanggar. Kami tidak pakai POM AL, soalnya jumlahnya sedikit," kata Faridz.

Hal sama terlihat di Bandara Soekarno-Hatta. Pasukan Khas TNI AU terlihat mondar-man­dir, beberapa bahkan dengan senjata laras panjang di lobi ter­minal kedatangan dan keberangkatan. Menurut Deputi Se­nior Bandara Internasional Soe­karno-Hatta Bram Bharoto Tjiptadi, keberadaan Paskhas seba­gai pasukan elite TNI AU atas permintaan manajemen banda­ra. Hal ini untuk merespons tindakan teror di Boston, Amerika Serikat, dari antisipasi perkembangan yang sama di Indonesia. Berhubung Bandara Soekarno-Hatta bisa menjadi pangkalan induk dalam keadaan darurat, yang menjaga adalah anggota Paskhas. "Ini termasuk OMSP," kata mantan perwira TNI AU ini.

Saat ditanya kenapa tidak menggunakan Polri dalam ke­adaan negara tertib sipil ini, Bram mengatakan pihaknya su­dah meminta ke Polri. "Tapi ba­nyak yang bertugas ke Papua dan daerah-daerah lain sehingga tidak mengirim ke bandara," katanya.

Di TNI AD juga terjadi multiperan yang mengundang pertanyaan masyarakat. Seperti disampaikan seorang warga Desa Malala, Kecamatan Dondo Tolitoli, Sulawesi Tengah, 10 Juni 2013, lewat Surat Pembaca Kompas. Warga desa merasa diintimidasi petugas PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang datang dikawal Danramil 1305-04. Dengan setengah memaksa, mereka mengganti meteran lama dengan meteran prabayar yang menggunakan pulsa Sebagian pelanggan terpaksa menyetujui penggantian meter­an karena takut.

Dalam hak jawabnya, 19 Juni 2013, Komandan Kodim 1305 Letkol Inf SP Silaban mengata­kan, Koramil 04/Dondo dimintai bantuan oleh PT PLN Toli-toli untuk mengubah meteran listrik. Silaban mengatakan, hal itu adalah bagian dari tugas pembinaan teritorial, yaitu membantu Pemkab Tolitoli demi meningkatkan kesejahteraan rakyat lewat listrik dan merupakan implementasi UU No 34/2004 tentang TNI. Lepas da­ri PLN dan Pemkab Tolitoli adalah dua entitas berbeda, ketakutan masyarakat menjadi kontraproduktif bagi TNI sebagai tentara rakyat.

Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengatakan, pada prinsipnya Polri tetap berada di depan dalam pengamanan, termasuk di antaranya pengamanan obyek vital dan demonstrasi. Dalam UU Penanganan Konflik Sosial, militer boleh berjaga di sekitar obyek vital atau demonstrasi kalau tiba-tiba diperlukan. Sekjen Kemhan Budiman menyatakan, meteran lis­trik bukan termasuk obyek vital. Jika ada yang dilakukan pribadi-pribadi, hendaknya diinformasikan kepada Kemhan.

Agus Widjojo, mantan Kepala Staf Teritorial TNI, mengatakan, prinsip yang harus dipegang da­lam pelaksanaan OMSP adalah adanya keputusan politik "Ha­rus keputusan presiden karena TNI itu ada di bawah Presiden. Harus jelas tugasnya apa, kewenangannya apa, mulai dan selesainya kapan," kata Agus.

Ia mengatakan, prinsip itu harus dipegang teguh karena penggunaan aset dan sumber daya TNI yang sebetulnya untuk perang itu berarti ada perluasan kewenangan. Ia menyayangkan kerja sama TNI dengan instansi mana pun tanpa melalui Presi­den. "Praktik-praktik seperti ini melanggar undang-undang. Penggunaan TNI itu tidak bisa eceran dan tidak bisa diputuskan TNI sendiri," katanya.

Ia menyesalkan terjadinya in­flasi pengertian dari OMSP. Un­tuk itu, ia mendorong agar pe­merintah menertibkan segala praktik pengerahan TNI yang melanggar UU TNI itu sendiri. (EDNA C PATTISINA), Sumber Koran: Kompas (03 Juli 2013/Rabu, Hal 05)