30 June 2013 |
09:10
Luar Biasa! Itu
adalah dua kata yang layak diucapkan kepada Komnas HAM yang hingga kini tidak
menunjukkan kepeduliannya atas penembakan prajurit TNI di Papua. Penembakan itu
sendiri menewaskan Anggota Yonif 753, Letda Inf I Wayan Sukarta, yang bersama
seorang warga sipil bernama Tono di Jigonikme, Distrik Ilu, pada 25 Juni lalu.
Sudah lima hari
berlalu, dan hingga kini tidak ada pernyataan resmi dari Komnas HAM terkait
peristiwa ini. Jangan kan mengutuk peristiwa ini, pernyataan duka cita atau
berbela sungkawa saja tidak disampaikan oleh petinggi komisi yang membawahi persoalan
HAM ini.
Ada apa dengan
Komnas HAM? Bukan kah penembakan yang menewaskan prajurit ini merupakan
pelanggaran HAM? Letda Inf I Wayan Sukarta memiliki hak asasi untuk hidup,
meski statusnya sebagai prajurit TNI. Apalagi Komnas HAM memiliki status sebagai
lembaga negara yang sama-sama hidup dari pajak rakyat. Apakah tidak ada nurani
sedikitpun dari petinggi Komnas HAM?
Hal yang berbeda
terjadi ketika warga sipil di Papua tewas. Komnas HAM langsung bereaksi cepat
dengan mengumumkan ke media massa bahwa telah terjadi pelanggaran HAM. Dikutip
dari tempo.co (3 mei 2013), Kepala Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
di Papua, Frist Ramandey, menyatakan kasus penembakan di Distrik Aimas,
Kabupaten Sorong, Selasa, 30 April 2013, yang menewaskan dua warga sipil,
termasuk dalam kategori pelanggaran HAM.
Bahkan, tidak hanya
mengeluarkan pernyataan, Komnas HAM Papua mengirim tim ke Sorong guna
mengumpulkan fakta awal dan menemui keluarga korban. Hasil tersebut akan
diberikan kepada berbagai pihak untuk ditindaklanjuti.
Ironis sekali
bukan? Komnas HAM sudah memainkan definisi hak asasi manusia (HAM) menurut
kepentingannya sendiri.
Bukan hanya sekali,
Komnas HAM memang kerap berlaku tidak adil terhadap TNI. Natalius Pigai bahkan
secara keji menuding prajurit TNI di Papua kerjaannya hanya nongkrong dan
tidur. Tudingan itu disampaikan Natalius Pigai beberapa bulan lalu. Dia
mengatakan hal itu akibat insiden
penembakan anggota TNI oleh kelompok yang diduga Gerakan Pengacau Keamanan
(GPK) dan Murib. Jumlah anggota TNI di Papua mencapai 16.000 orang, dan 200 di
antaranya anggota intelijen. Sementara anggota kelompok separatis di Papua
diperkirakan mencapai 1.000 orang.
Komnas HAM telah
berubah menjadi penerus kepentingan kelompok-kelompok sipil yang tidak senang
terhadap prajurit TNI, khususnya di Papua. Akan kah komisi ini berubah menjadi
musuh dalam selimut? Waktu yang akan bisa menjawabnya.