Sidang perkara pembunuhan dengan terdakwa 12
anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Grup II Kandang Menjangan TNI AD, telah
menghadirkan belasan saksi dalam sesi pembuktian. Persidangan berjalan lancar,
termasuk kehadiran saksi yang sebagian besar para tahanan dari Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman.
Semula dikhawatirkan prosedurnya rumit dan
saksi-saksi tidak berani menyampaikan keterangan tentang pembunuhan yang
menewaskan empat tahanan. Saksi-saksi yang sudah dihadirkan di persidangan,
terutama seperti terekam dalam proses pembuktian pada perkara utama dengan
terdakwa Ucok Tigor Simbolon dan dua rekannya, bisa relatif lancar dalam menyampaikan
fakta-kata proses pembunuhan di kamar A-5. Namun, ekspresi terdakwa tampak
ketakutan dan terkesan tidak lepas dalam bersaksi. Itu bisa diperhatikan dari
bahasa tubuh mereka.
Yang lebih mengkhawatirkan, saksi-saksi
"memilih" posisi aman. Dalam hal ini, para sipir maupun tahanan yang
dihadirkan di muka persidangan tidak satu pun menunjuk bahwa Ucok Tigor yang
didakwa sebagai eksekutor empat tahanan, sebagai sosok yang mereka lihat pada
malam 23 Maret 2013 meskipun eksekutor tersebut tidak menutup muka dengan sebo.
"Saya dalam kondisi belum sadar sepenuhnya
karena baru saja bangun tidur, apakah satu dari dua terdakwa sebagai orang yang
menunjukkan surat pinjam tahanan dan menjadi eksekutor," begitu alasan
Kepala Keamanan LP Cebongan, Sleman, Margo Utomo.
Saksi Margo Utomo merupakan orang yang paling
bertanggung jawab atas keamanan dan kejadian di internal LP, tidak berani
"unjuk gigi", itu menjadi tanya tanya besar bahwa sidang terbuka
tersebut bisa membuka sepenuhnya misteri perencanaan pembunuhan berencana tersebut.
Yang sedikit mengejutkan justru dari
"suara" para tahanan. Di depan majelis hakim, mereka memang tidak
berani menunjuk Ucok Tigor dan kawan-kawan sebagai orang yang datang ke kamar
tahanan mereka waktu itu. Tetapi, nyali mereka cukup besar saat mengungkapkan
bahwa sang eksekutor mengekspresikan euforia kebahagiaan seusai mengeksekusi
Hendrik Benyamin Sahetapy Engel alias Diki alias Decky (38). Yohanis Juan
Manbait alias Juan (37). Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi (33), dan
Adrianus Candra Galaja alias Dedi (23).
Saksi Suratno, Hendyana, Setyawan, Arif Nugroho,
dan Tego Waseso, memastikan telah mendengar pernyataan bangga dari Ucok Tigor.
"Kalian selamat dan aman. Selamat melanjutkan hidup," seusai Ucok menembak
empat korbannya.
Ketika dibantah Ucok pun, mereka bergeming,
bersikukuh bahwa mereka mendengar pertanyaan itu. Tidak hanya sebatas itu,
mereka memastikan operasi para eksekutor terkoordinasi, itu bisa diindikasikan
dari handy talky (HT) yang dibawa
oleh eksekutor untuk berkomunikasi dengan anggota operasi lainnya.
Namun, kondisi tersebut tetap menggelisahkan karena
proses pembuktian belum menyentuh kepada detail bagaimana proses eksekusi terjadi
dan motivasi para anggota Kopassus menghabisi empat tahanan di kamar tahanan.
Sejauh ini mereka melakukan sebagai balas dendam atas kematian anggota
Kopassus, Sertu Heru Santoso.
Aspek
substantial
Pengadilan belum menyentuh sampai ke level
tersebut dengan mendengar dari para saksi yang kompeten. Kapan aspek
substansial tersebut disentuh? Ini sangat tergantung dari kesaksian internal
Kopassus seperti atasan para terdakwa maupun pengakuan para terdakwa
masing-masing.
Wakil Menteri Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Deny Indrayana terkesan galau dengan perkembangan tersebut. Dia seperti
tidak sabar lagi untuk mendengar dari saksi-saksi di persidangan yang
mengungkap bagaimana proses memutuskan operasi senyap 23 Mei 2013 dan berharap
proses hukum di Peradilan Militer II-11 Yogyakarta fokus mengungkap pelaku
penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Klas II Cebongan yang akibatkan
kematian 4 tahanan titipan polisi. "Dari persidangan yang diungkap soal
pinggiran, teknis, dan standar operasional. Bagaimana mereka akan memilih sasaran
empat tahanan dan proses pembunuhan bisa terjadi, itu semestinya menjadi
fokus," kata Deny, Minggu (7/7/2013).
Sidang belum usai, proses pembuktian masih terus
berlangsung, maka misteri yang sudah terkuak separuhnya perlu diperlebar sehingga sepenuhnya terungkap misteri
perencanaan pembunuhan. Hakim masih memiliki kesempatan untuk membuktikiin
lebih dalam lagi.
Kemudian publik memberi kesempatan Pengadilan
Militer II-11 Yogyakarta menjalankan sidang dengan bebas dan terbuka tanpa
intervensi. Sejauh ini intervensi dari berbagai pihak terus terjadi dan relatif
intens yang dilakukan oleh berbagai kelompok, misalnya kelompok yang
mengatasmakan paguyuban tukang becak, dll. Tekanan sebanyak apa pun, mestinya
tidak memengaruhi independensi pengadilan untuk mengungkap tuntas perkara ini
dan memutuskan seadil-adil-nya. Jika tidak tuntas, preseden penyerangan tahanan
ini menjadi catatan sangat buruk bag penegakan hukum di masa depan. (H Mukhijab/"PR"), Sumber Koran:
Pikiran Rakyat (08 Juli 2013/Senin, Hal. 08)