YOGYAKARTA -
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban telah menguji coba pemakaian video telekonferensi
untuk pemeriksaan saksi kasus penyerangan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B
Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta. Penggunaan fasilitas ini diharapkan membantu
para saksi dalam pengungkapan fakta-fakta kebenaran materiil di persidangan
sehingga hukum bisa ditegakkan.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Abdul Maris Semendawai mengatakan, keputusan pemanfaatan video telekonferensi
memang berada pada majelis hakim Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta. Namun,
LPSK berharap majelis hakim memperhatikan kepentingan yang lebih besar.
"Kondisi para saksi benar-benar dalam ancaman
yang luar biasa, mereka mengalami stres dan trauma akibat penyerangan di LP
Cebongan bulan Maret lalu. Selain itu, kondisi persidangan juga terlalu dekat
dengan pengunjung dan pengunjuk rasa," ujarnya, akhir pekan lalu, di
Yogyakarta.
Menurut Abdul, dalam beberapa kali persidangan
terlihat situasi dan kondisi sekitar Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta tidak
kondusif. Ia mencontohkan, Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila yang sempat dicaci
maki massa dan spion mobilnya dipukul. Karena itu, pemanfaatan video telekonferensi
menjadi semakin mendesak.
Jika persidangan tetap dipaksakan seperti selama
ini, Abdul khawatir para saksi tidak bisa memberi keterangan dengan benar.
Dalam Undang-Undang Nomor 13" Tahun 2006 Perlindungan Saksi dan Korban
dimungkinkan saksi diperiksa tanpa harus dihadirkan langsung.
"Kalau memang ada saksi yang siap hadir di
persidangan tidak masalah, tetapi kami tetap akan menyiapkan fasilitas video
telekonferensi bagi mereka yang tidak siap hadir sesuai rekomendasi para
psikolog," ujarnya.
Dari total 42 saksi kasus Cebongan, ada 10 saksi
yang direkomendasikan tim psikolog LPSK untuk menggunakan video telekonferensi
dalam pemeriksaan. LPSK telah meminta ijin kepada Ketua Muda Pengadilan Militer
Mahkamah Agung dan Kepala Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta.
Didampingi
Anggota LPSK, Teguh Soedarsono, mengatakan, LPSK
dan tim psikolog akan mendampingi 42 saksi yang berada dalam perlindungan LPSK
dalam setiap pemanggilan oleh Oditur Militer II-11 Yogyakarta. Menurut rencana,
pemanggilan para saksi akan berlangsung pada 2-4 Juli 2013.
Sementara untuk para saksi terlindung LPSK yang
merasa siap bersaksi langsung di Pengadilan Militer, mereka tetap akan dikawal
oleh jajaran Polda DIY.
"Untuk saksi terlindung LPSK yang masih stres
dan trauma, kami sarankan untuk menggunakan peranti atau media telekonferensi
yang telah disiapkan atau bila memungkinkan majelis hakim bisa mendatangi dan
memeriksa para saksi tersebut secara langsung di tempat lain. Untuk hal ini,
akan disiapkan satu ruangan di kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Daerah Istimewa Yogyakarta," katanya.
Menurut pengacara senior Kamal Firdaus,
"Telekonferensi baru boleh digunakan apabila ada ancaman yang sangat besar
terhadap saksi. Jadi, kalau hanya trauma, stres, atau depresi, di Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban tidak disebutkan. Sekarang kita tidak tahu
ancaman yang sangat besar itu dari mana?" (ABK), Sumber: Koran Tempo (01 Juli 2013/Senin, Hal. 03)