KEMARIN, sekitar pukul 10.07 WIB, Komisi Pemberantasan Korupsi kedatangan tamu. Tamu itu ialah Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) Sjafrie Sjamsoeddin.
Tidak seperti tamu lainnya yang masuk gedung KPK melalui lobi, petinggi TNI berpangkat letnan jenderal itu masuk melalui pintu samping KPK.
Kepada wartawan, Sjafrie menjelaskan kedatangannya untuk mengundang Ketua KPK Abraliam Samad menghadiri acara rapat pimpinan Kementerian Pertahanan pada 7 Januari 2014.
"Saya selaku Wakil Menteri Pertahanan berkunjung untuk mengundang Ketua KPK dalam rangka Rapim Kemenhan," cetus Sjafrie sambil memasuki Gedung KPK, Jakarta.
Satu jam berlalu, seusai menyerahkan undangan itu, Sjafrie keluar melalui pintu samping dan langsung menaiki mobil yang menjemputnya.
Pertemuan itu mengingatkan kembali akan tugas dan kewenangan KPK yang masih memiliki kelemahan, yang menyebabkan terjadinya tebang pilih di mata hukum. KPK tidak bisa menelusuri dugaan korupsi yang terjadi di dalam tubuh Tentara Nasional Indonesia.
Kekuasaan integritas dan profesionalitas KPK yang luar biasa ternyata terbatas dalam ruang lingkup sipil. Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja,mengatakan bahwa TNI bukan institusi yang bebas dari permasalahan korupsi, tapi KPK tidak bisa masuk karena dibatasi oleh undang-undang, sehingga jika KPK ingin memeriksa TNI, harus terlebih dulu dilakukan uji materi UU.
Ketika suatu tindak pidana korupsi bersentuhan dengan oknum TNI, proses hukum dilakukan di lingkungan TNI sendiri yang mempunyai Polisi Militer dan Pengadilan Militer. Ketentuan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Pasal 8 dan 9 UU Pengadilan Militer mengatur bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata. Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana berstatus prajurit.
"Jangan ada anggapan bahwa kami takut pada TNI. Korupsi di TNI banyak, tapi UU membatasi KPK masuk ke situ. Kami tidak mempunyai kewenangan," cetus Adnan.
Kemenhan pintu masuk
Direktur Program Imparsial Al Araf menilai reformasi hukum di Indonesia, khususnya pemberantasan korupsi, masih setengah hati. KPK hanya kuat untuk memberantas korupsi di tubuh Polri dan institusi sipil lainnya, tapi tidak berkutik ketika bersentuhan dengari TNI.
Alasannya klasik, yaitu terhambat oleh UU Peradilan Militer yang menyebabkan TNI selalu menolak membuka diri jika ada aparat penegak hukum lain coba membantu, begitu juga dengan KPK yang menutup diri, sehingga terjadi kecacatan dalam sistem hu¬kum negara.
Menurut Al Araf, sebenarnya ada celah bagi KPK untuk masuk mengungkap dugaan korupsi di tubuh TNI, yaitu melalui Kementerian Pertahanan. "Misalkan dalam dugan pengadaan pesawat Sukhoi, KPK bisa masuk karena Kemenhan bukan milik TNI, melainkan kementerian sipil biasa. Saya kira KPK tebang pilih dalam memberantas korupsi. KPK tidak berdaya di Kemenhan," ujarnya.
Akhirnya, yang terjadi ialah keduanya berlindung di balik rahasia negara dan potensi korupsi jadi tidak bisa dibongkar. (P-4), Sumber Koran: Media Indonesia (03 Januari 2014/Jumat, Hal. 03)