Minggu, 05 Januari 2014 21:01 wib, JAKARTA - Enam daerah diprediksi sebagai wilayah paling rawan konflik sosial pada tahun 2014. Yaitu, Papua, Jabar, Jakarta, Sumut, Sulteng, dan Jateng. Tingginya potensi kerawanan ini mengingat sepanjang 2013 wilayah-wilayah tersebut paling banyak dilanda konflik sosial.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mencatat, sepanjang 2013 di Papua terjadi 24 peristiwa konflik sosial. Insiden ini menelan 59 jiwa, termasuk 3 polisi dan 9 TNI, serta 92 orang luka, termasuk 6 polisi dan 4 TNI.
“Satu pos polisi dibakar, 11 rumah dibakar, tiga mobil dibakar, satu mobil dirusak, tiga sepeda motor dibakar, dan dua motor dirusak,” ujarnya di Jakarta, Minggu (5/1/2014).
Sementara di Jawa Barat ada 24 konflik sosial dengan korban jiwa 29 orang, 23 luka (termasuk 10 polisi dan 1 TNI), 2 mobil dibakar dan 1 sepeda motor dibakar. Kemudian di Jakarta ada 18 peristiwa, 12 tewas, dan 11 luka (termasuk 3 polisi).
Di Sumatera Utara ada 10 peristiwa konflik sosial yang menelan 21 korban tewas, 26 luka, 1 bangunan Lapas dibakar. Selanjutnya di Sulawesi Selatan ada 10 peristiwa, 8 tewas, dan 28 luka (termasuk 17 polisi). Di Jateng ada 10 konflik sosial yang menyebabkan 7 tewas, 46 luka, 1 mobil, dan 70 motor dibakar
Neta menegaskan, kondisi 2013 memang "panas". Dari 33 propinsi di Indonesia, ada 27 yang dilanda konflik sosial. Uniknya, Aceh yang selama ini rawan konflik justru pada 2013 bebas konflik sosial. Pertikaian antar warga dan antar kelompok mendominasi hilangnya nyawa rakyat, terutama di Papua sebagai pemegang peringkat tertinggi di 2013. Kerusuhan paling memprihatinkan, saat 18 orang tewas di arena pertandingan tinju di Nabire, Juli 2013.
Di Jawa Barat, tawuran pelajar dan geng motor memberi kontribusi besar dalam konflik sosial. Sebanyak 10 korban tewas disumbangkan oleh tawuran pelajar dan 9 lainnya akibat ulah geng motor. Di Jakarta, tahun 2013 ada 12 orang tewas dalam 18 konflik sosial. Jumlah terbesar korban tewas di Jakarta adalah akibat bentrokan antar ormas, warga, pemuda, kelompok, dan preman.
Banyaknya korban jiwa dalam konflik sosial di 2013, menurut Neta, menunjukkan bahwa negara melakukan pembiaran terhadap pemeliharaan keamanan. Jika kondisi ini tetap dibiarkan diperkirakan akan memberi kontribusi bagi gangguan keamanan di tahun politik 2014. “Karena itu pemerintah dan Polri perlu mengantisipasinya agar tidak menjadi gangguan bagi pemilu dan pilpres,” pintanya.