[JAYAPURA] Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, salah satu lembaga non pemerintah (non government organization) yang berfokus pada advokasi hak asasi manusia (HAM) di Papua, mencatat bahwa tragedi pelanggaran HAM di wilayah itu telah berlangsung 50 tahun atau sejak 1 Mei 1963.
Pelanggaran HAM itu, berlangsung secara struktural dan sistematis mengakibatkan korban yang sangat banyak," ungkap Direktur Eksekutif (LP3BH) Yan Christian Warinussy kepada SP, Rabu (1/1).
Sejak 1963, katanya, berbagai bentuk kekerasan terhadap kemanusiaan terjadi di Tanah Papua. Ia menyebutkan misalnya tindakan pelanggaran HAM seperti pembunuhan kilat (summary execution) yang mengakibatkan tewasnya 53 warga sipil Papua di luar proses hukum pada 28 Juli 1969 di Markas Pasukan Yonif 752 Arfai Manokwari.
Juga pembunuhan kilat terhadap sekitar 30 orang warga sipil yang jasadnya dikubur di dalam satu lobang di salah satu lokasi di sekitar SP XI Manokwari. Ada lagi pemerkosaan dan penganiayaan berat terhadap puluhan bahkan ratusan warga sipil pasca penyerangan aparat gabungan TNI dan Polisi tanggal 6 Juli 1998 di Menara Air, Kelurahan Burokub Biak. Serta pembunuhan kilat tahun 1978 di daerah Pegunungan Tengah, Papua.
Penghilangan orang secara paksa pada bulan Juli sampai Agustus 1969 di sejumlah tempat di Papua, seperti Merauke, Wamena, Nabire, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak, dan Jayapura pada saat menjelang penyelenggaraan Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas).
"Kasus-kasus pembunuhan kilat yang diduga dilakukan oknum TNI ini, belum pernah diusut Komnas HAM," tegas peraih penghargaan internasional di bidang HAM "John Humphrey Freedom Award" dari Kanada tahun 2005 ini.
Meski Pemerintah Indonesia akhirnya membual sejumlah aturan seperti UU 39/1999 tentang HAM dan UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, namun peraturan perundangan itu tak juga digunakan untuk memproses kasus-kasus HAM di Papua.
Satu hal lagi yang sangat disesalkan yakni Pemerintah Indonesia atau secara khusus Panglima TNI, tidak pernah mau mengakui dan menyatakan permohonan maafnya atas kejadian-kejadian pelanggaran HAM tersebut di Tanah Papua.
"Oleh sebab itu, LP3BH mendesak Pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, agar mau membentuk Pengadilan HAM berdasarkan amanat Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua sebagaimana diubah dalam UU 35/2008, guna menyelesaikan secara hukum dan bermartabat semua kasus pelanggaran HAM di Papua," pintanya.
Sementara itu, Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua, Frist Bernard Kamuki Ramandey mengatakan, selama 2013, pihaknya menerima 71 kasus kekerasan di Papua. Selain itu, ada 90 pengaduan kasus politik, ekonomi, sosial, dan budaya. "Dari seluruh kasus kekerasan itu, diduga terjadi pelanggaran HAM," katanya. [154], Sumber Koran: Suara Pembaruan (02 Januari 2014/Kamis, Hal. 13)